Pada suatu senja, dikala angina pengantar malam tengah sibuk mengatur mega, memindahkan awan yang berkelompok dari barat ke timur dan matahari telah kehilangan cahayanya dan redup-redup mengintip di balik puncak Kam-hongsan hingga langit di barat tampak ke merahmerahan denan dasar biru laut, berdirilah seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun di pinggir sebuah jurang.
Anak itu dengan asyiknya melamun seorang diri sambil memandang kearah awan putih dan hitam yang berkejar-kejaran di puncak bukit-bukit dan membentuk gambar mahluk-mahluk yang aneh dan menimbulkan kayal ke dalam otak siapa yang memandangnya.
Anak itu berdiri di kaki pegunungan yang banyak terdapat di dataran tinggi Yunan di mana terdapat puncak tertinggi yang menjulang di udara seakan-akan merupakan cakar naga sedang mencengkram awan-awan yang bergerak didekatnya.
Pakaian anak itu menunjukkan bahwa ia seorang anak petani.
Memang ia baru saja pulang menggembala dua ekor kerbau yang berkulit hitam abu-abu dan yang kini dengan senangnya berdiri dengan kepala kebawah dan mulut memilih-milih rumput tergemuk dan ekor mereka yang kecil bergerakgerak tiada hentinya keperut mereka untuk mengusir lalat dan nyamuk.
Baju anak itu berwarna kuning memakai sabuk biru mengikat pinggangnya, dan di pinggang kirinya terselip sebuah suling bambu yang berlubang lima.
Anak itu tenggelam dalam samudra lamunannya hingga ia tidak merasa betapa kedua ekor kerbaunya telah jauh meninggalkannya dan menuju ke kampung karena kedua binatang itu agaknya telah hafal akan jalan pulang ke kandang yang tiap hari dilaluinya itu.
Beberapa lama kemudian, dari bawah kaki bukit tampak seorang tua yang berpakaian sebagai petani pula jalan mendaki bukit itu menuju ke pinggir jurang dimana anak itu masih berdiri melamun.
Kakek ini usianya tidak kurang dari enampuluh tahun, tapi tubuhnya masih tampak sehat dan wajahnya kemerah-merahan sebagaimana lajimnya wajah seorang petani yang hidup di udara bebas dan tubuhnya tiap hari melakukan pergerakan yang sehat.
Tapi yang sangat mengherankan ialah betapa kakek itu mendaki bukit itu.
Ia berlari demikian ringan dan cepat seakan-akan terbang saja! Ternyata orangtua itu mengunakan ilmu lari cepat hui-heng-sut dan dari keringanan tubuhnya yang seolaholah burung kepinis terbang itu dapat diduga bahwa ginkangnya telah mencapai tingkat tinggi sekali.
Melihat anak yang masih berdiri melamun dan agaknya lupa keadaan di sekelilingnya itu, kakek tadi tersenyum lalu menghampiri perlahan.
"Sin Wan, kau sedang melamun apakah?" tanyanya halus, Anak itu ketika mendengar suaranya kakeknya baru sadar dari lamunannya dan menengok cepat.
"Eh, Kong-kong, mana kerbau kita?" Kakeknya tersenyum mentertawakan.
"Mereka sudah pulang dan kini bermalas-malasan di kandang.
Heran, apakah yang kau pikirkan hingga kau tidak tahu akan keadaan kerbaumu?" Sin Wan putar tubuhnya ke arah puncak Kam-hong-san dan menunding keatas.
"Lihatkah kong, bukankah di atas puncak yang tinggi itu terbang dua ekor naga?" Mendengar kata-kata ini, kakek itu berubah air mukanya dan ia datang mendekat dan ikut memandang.
Lalu dengan suara bersungutsungut ia berkata.
"Sin Wan, janganlah kau berkata yang bukan-bukan.
Yang kau lihat itu ialah awan hitam dan mega putih".
"Tapi, ngkong, lihatlah yang jelas, Bukankah yang panjang-panjang itu seekor naga putih dan seekor naga hitam yang sedang mengulur lidah dan cakar depan? Lihatlah, lihatlah, mereka bergerak-gerak.
Ngkong, mereka sedang terbang!" "Anak bodoh! Yang putih itu adalah mega dan yang hitam awan.
Karena tertiup angin maka awan-awan itu membentuk gambar yang anehaneh.
Sebentar lagi gambar-gambar itu akan lenyap pula.
Lihatlah, awan hitam telah mulai buyar." Tapi Sin Wan yang mempunyai daya khayal besar segera bersorak.
"Ngkong, mereka bertempur! Nah, naga hitamnya yang kalah dan ia sekarang buyar, hancur digigit naga putih!" Kakek pegang lengan cucunya.
"Sudahlah, Sin Wan, mari kita pulang.
Ibumu menanti-nantimu dengan tak sabar." "Ngkong, biarlah aku nonton perkelahian naga putih dan naga hitam dulu", anak itu memohon.
"Sudah malam dan sebentar lagi gelap.
Nanti saja kuceritakan tentang naga putih dan hitam yang dulu tinggal di puncak bukit itu, Sin Wan" Sin Wan pandang kakeknya dengan heran dan tertarik.
"Betulkah, ngkong? Mereka tinggal di puncak gunung itu?" Ia menuding ke arah puncak Kam-hong-san yang kini agak tertutup gelap awan yang tak dapat melewati puncaknya yang tinggi.
"Sudahlah, nanti di rumah saja aku mendongeng.
Maka Sin Wan tidak membantah lagi.
Keduanya lalu turun dari lereng itu.
"Sin Wan, hayo gunakan ilmu lari cepat yang belum lama ini kuajarkan kepadamu." Sin Wan tersenyum girang karena di dekat kakeknya ia tak usah takut tergelincir atau jatuh.
Maka keduanya lalu lari secepat angin menuruni lereng yang banyak jurangnyaitu.
Jurang-jurang kecil diloncati begitu saja oleh Sin Wan dan kakeknya dan jika melintasi jurang yang besar lagi curam maka kakeknya pegang lengan Sin Wan dan bawa cucunya itu meloncat! Sebentar saja mereka sudah tiba di sebuah kampung kecil yang hanya terdapat beberapa belas rumah sederhana.
Di sekitar kampung itu adalah sawah-sawah sumber hasil dan makan orangorang kampung itu yang hidup secara sederhana sekali.
Ketika melangkah ambang pintu, seorang wanita cantik dan berwajah muram dan sedih menyambut mereka.
Dengan kata-kata halus ia tegur Sin Wan yang disebut tidak tahu waktu.
"Kau hanya membikin kami orang orang tua berkhawatir saja.
Kalau hendak pergi bermain, pulanglah dulu agar kami tahu ke mana saja kau pergi!" Ibu itu menegur dan Sin Wan lalu menghampiri ibunya.
"Ibu maafkan aku.
Aku tadi nonton perkelahian naga putih dan naga hitam hingga lupa waktu.
Biarlah lain kali aku tidak akan ulangi lagi ibu, jangan marah padaku, ya?" Dengan sikap manja ia pegang tangan ibunya dan gesek-gesek tangan yang halus itu kepipinya dengan penuh kasih sayang.
Nyonya muda yang cantik itu tiba-tiba merasa terharu dan sedapat mungkin ia tahan keluarnya air mata dari kedua matanya hingga matanya menjadi merah dan bibirnya gemetar.
Ia hanya bisa dekap kepala puteranya dan ciumi kepala itu.
Siapakah nyonya muda cantik jelita yang berwajah sedih itu? Dan siapa pula kakek yang lihai itu? Kakek itu bukan lain ialah seorang pendekar luar biasa yang pernah menjagoi di Kang-lam dan bernama Bun Gwat Kong, digelari orang Kang-lam Cui hiap atau Pendekar-arak dari Kang-lam.
Gelaran ini menunjukkan bahwa ia doyan sekali minum arak.
Hal ini memang betul, karena bukan saja ia doyan sekali minum arak, bahkan dengan lweekangnya yang tinggi ia dapat gunakan itu sebagai senjata yang ampuh.
Dengan semburkan arak dari mulutnya, ia sanggup menjatuhkan lawan yang lihai.
Kang-lam Cuihiap mempunyai seorang anak perempuan tunggal, yakni ibu Sin Wan atau nyonya muda yang berwajah muram itu.
Puterinya itu dijodohkan dengan seorang pembesar yang bijaksana di kota Kang-lam.
Perjodohan puterinya cukup mendatangkan bahagia sampai terlahir Sin Wan.
Tapi kemudian datanglah malapetaka, ayah Sin Wan sebagai seorang pembesar yang jujur dan adil, sangat dimusuhi oleh rekan-rekannya yang curang dan korup.
Maka ia kena fitnah dan mendapat hukuman mati yang diperintahkan oleh raja yang dapat disebut buta karena mabok di bawah pengaruh para durna dan selirnya yang jahat.
Untung sebelum sekeluarga terbasmi habis, datang Kang-lam Ciuhiap yang cepat menyelamatkan puterinya dan telah menjadi janda dan cucunya, yakni Sin Wan.
Setelah selamatkan anak cucunya, Kang-lam Ciuhiap lalu mengamuk dan membasmi para musuh mantunya yang telah memfitnah anak mantunya hingga menjadikannya matinya itu.
Setelah itu, barulah ia merasa puas dan melarikan diri dengan anak cucunya ke sebuah kampung kecil di kaki gunung Kam-hong-san itu.
Semenjak ditinggal mati suaminya yang tercinta, ibu Sin Wan seakan-akan hidup tanpa semangat.
Nyonya muda ini tiada hentinya bersedih dan menangis jika teringat akan kematian suaminya dalam cara yang sangat menyedihkan itu.
Karena itu, ia sering jatuh sakit dan mempunyai semacam penyakit, yakni terganggu jantungnya dan kadang-kadang ia batuk-batuk dan keluar darah dari mulutnya! Kang-lam Ciuhiap Bun Gwat Kong lalu didik cucunya dalam ilmu silat yang tinggi karena ia hendak turunkan seluruh kepandaiannya kepada cucunya yang tunggal itu, sedangkan Sin Wan oleh ibunya dididik dalam hal ilmu surat.
Demikianlah maka selama lima tahun atau enam tahun mereka tinggal dengan aman di kampung kecil di kaki Kam-hong-san itu.
Atas kehendak ibunya, Sin Wan menggunakan she ibunya, yakni she Bun hingga ia disebut Bun Sin Wan, sedangkan sebenarnya ayahnya dari keluarga Liu.
Setelah makan malam, makan Sin Wan ingat akan janji kakeknya, maka ia segera datangi kakeknya itu di dalam kamarnya dan berkata.
"Ngkong, hayo ceritakanlah padaku tentang naga itu." "Sin Wan, kau harus menghafal pelajaranmu yang kuberikan kemarin malam." Ibunya menegur ketika mendengar suara anaknya di kamar ayahnya.
"Biarlah aku besok bangun pagi-pagi sekali dan menghafal pelajaran membaca itu, ibu.
Kong-kong tadi sudah berjanji hendak mendongeng tentang naga putih dan naga hitam." Akhirnya kakek dan ibunya mengalah dan mulailah Bun Gwat Kong mendongeng.
Dongeng itu demikian menarik, hingga ibu Sin Wan dibalik bilik juga ikut mendengarkan dengan asik.
Demikianlah dongeng itu.
* * * Ratusan, atau mungkin ribuan tahun yang lalu, di puncak gunung Kam-hong-san yang tinggi sekali, lebih tinggi dari keadaannya sekarang karena semenjak itu telah ratusan kali puncak itu gugur dan longsor, terdapat dua ekor nagasakti yang besar sekali.
Dua ekor naga itu sedang bertapa dan telah bertahun-tahun tidak bergerak dari gua Pertapaan masing-masing dalam memohon kepada yang Maha Kuasa untuk mengangkat mereka menjadi dewa.
Dua ekor nagasakti itu seekor betina dan bersisik hitam mulus, sedangkan yang kedua adalah seekor naga jantan yang bersisik warna putih bersih.
Mereka bertapa dalam gua masing-masing yang berjajar, melingkar merupakan bukit kecil dalam gua yang besar itu dan tumpangkan kepala di atas lingkaran tubuh.