SIAPAKAH orangnya yang tidak mengenal nama Liok Kong, hartawan besar di kota Kan-cou di propinsi Kiangsi? Seluruh penduduk kota Kan-cou tentu telah mengenal hartawan yang kaya raya, pemilik dari berbagai toko dan rumah gadai yang kenamaan ini. Sesungguhnya bukan karena kekayaannya maka ia amat dikenal, karena di kota Kan-cou memang banyak sekali terdapat orang-orang hartawan. Liok Kong dikenal banyak orang bukan hanya sebagai seorang hartawan, akan tetapi lebih lagi sebagai seorang jago tua yang mempunyai julukan Toat-beng Sin-to (Golok Sakti Pencabut Nyawa).
Toat-beng Sin-to Liok Kong adalah seorang yang telah banyak merantau dan diwaktu mudanya, ia malang melintang di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli golok yang jarang menemukan tandingannya. Setelah usianya menjadi tua, ia pindah ke dalam kota Kan-cou dalam keadaan sudah kaya raya. Sungguh amat mengherankan orang betapa cepatnya ia mendirikan rumah-rumah gedung, membuka toko-toko dan membeli rumah-rumah gadai yang terbesar. Bahkan dalam usia lima puluh tahun, ia lalu mengawini seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun, hidup mewah, memelihara banyak pelayan dan penjaga-penjaga yang banyak jumlahnya dan memiliki kepandaian silat t inggi.
Agaknya para penjaga atau lebih tepat disebut “tukang pukul” ini amat mengandalkan pengaruh kekayaan dan nama besar Toat-beng Sin-to Liok Kong, karena kadangkala mereka melakukan hal-hal yang menunjukkan kesombongan mereka. Tangan mereka amat ringan menjatuhkan pukulan kepada siapa saja yang tidak mau tunduk, dan bahkan di antara mereka tidak segan-segan untuk mengganggu si lemah.
Akan tetapi, siapakah orangnya yang berani menentang mereka? Tidak saja mereka ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi lebih-lebih lagi orang-orang merasa segan terhadap Liok Kong yang kaya raya, terutama sekali karena Liok Kong telah mengadakan hubungan amat baiknya dengan para pembesar setempat.
Pada hari itu keadaan kota Kan-cou berbeda dari biasanya, lebih ramai dan yang amat menarik hati penduduk adalah banyaknya orang-orang asing, pendatang-pendatang dari tempat-tempat jauh. Para penduduk maklum bahwa orang- orang ini adalah para tamu yang hendak mengunjungi pesta yang diadakan oleh Liok-wangwe (hartawan Liok), yakni sebutan baru bagi Toat-beng Sin-to Liok Kong sete lah ia menjadi hartawan.
Hotel-hotel di kota itu penuh dengan para tamu ini, dan keadaan mereka memang amat menarik hati. Ada orang yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat, sebagai piauwsu (pengawal kiriman barang berharga), ada pula wanita-wanita yang membawa pedang, banyak pula yang berpakaian sebagai hwes io (pendeta Buddah) dan tosu (pendeta agama To). Hal ini sesungguhnya tak perlu diherankan, oleh karena di masa mudanya, Liok Kong telah merantau di seluruh propinsi. Biarpun propinsi K iangsi berada di selatan, namun pendatang- pendatang itu datang dari propinsi amat jauh di utara, seperti propinsi-propinsi Santung, Honan, Ho-pak, Sansi, dan lain-lain.
Rumah gedung Liok-wangwe sendiri menjadi pusat keramaian dan kemewahan. Gedung yang besar dan tinggi bertingkat dua itu dihias dengan kertas-kertas berwarna, bunga-bunga kertas dan bunga-bunga asli. Semenjak pagi hari, para tamu sudah datang berduyun-duyun, ratusan orang jumlahnya.
Sebagaimana biasanya dalam setiap pesta yang diadakan orang di masa itu, ruang bagi tamu terbagi dalam beberapa bagian. Ada tempat atau ruang bagi tamu-tamu “biasa”, yakni penduduk kota Kan-cou yang dianggap tak berapa penting. Mereka ini dipersilakan menduduki ruang di sebelah kiri dan hanya dilayani oleh pelayan-pelayan hartawan itu. Para pembesar tinggi mendapat tempat yang lebih mewah, bersama dengan para hartawan, yakni di ruang sebelah kanan. Yang paling istimewa adalah tamu-tamu yang terkenal sebagai tokoh-tokoh persilatan tinggi dan pembesar-pembesar yang berpengaruh, karena mereka ini diistimewakan dan mendapat ruangan yang amat luas yakni di sebelah dalam. Mereka ini disambut sendiri oleh Liok-wangwe.
Bertumpuk-tumpuk barang antaran atau sumbangan memenuhi belasan meja yang dipasang berderet di ruang tengah, di jaga oleh belasan orang penjaga yang memegang golok, nampaknya gagah dan keren sekali. Hampir semua tamu tidak lupa untuk membawa sumbangan sebagai pernyataan selamat atas perayaan ulang tahun atau hari lahir yang ke lima puluh lima dari Toat-beng Sin-to Liok Kong.
Hartawan she Liok ini merasa gembira sekali melihat banyaknya tamu yang datang memberi selamat kepadanya, terutama sekali karena ia melihat kawan-kawan lama dari dunia kang-ouw yang memerlukan datang. Hampir setiap cabang persilatan mengirim wakil-wakilnya sehingga di situ terdapat wakil-wakil dari cabang persilatan Siauw-lim, Go-bi- pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain.
Akan tetapi yang amat menggembirakan hatinya adalah hadirnya lima orang gagah yang amat terkenal yakni yang disebut Ngo-lian Hengte (Kakak Beradik Lima Teratai). Ngo- lian Heng-te ini terdiri dari lima orang laiki-laki yang usianya telah empat puluh tahun lebih. Yang tertua bernama Kui Jin, kedua Kui Gi, ketiga Kui Le, keempat Kui Ti. Dan kelima Kui Sin. Ke lima kakak beradik ini juga disebut Ngo ciangbun (Lima Ketua) dari perkumpulan Agama Ngo-lian-kauw (Agama Lima Teratai) yang berkedudukan di kota Po-teng di propinsi Hopak.
Pesta berlangsung dengan amat meriah dan ramai. Hidangan-hidangan mahal dan lezat dikeluarkan. Arak yang wangi dituang berkali-kali sehingga makin lama makin riuhlah gelak tawa para tamu yang sudah mulai terpengaruh oleh arak wangi. Makin banyak arak keras ini memasuki perut, makin terlepaslah lidah makin bebaslah pikiran, lenyap segala keraguan dan kesusahan, yang terasa hanyalah kegembiraan hidup.
Berulang-ulang para tamu mengangkat cawan arak untuk keselamatan tuan rumah sehingga muka Liok Kong telah menjadi merah seperti udang direbus. Toat-beng Sin-to ini telah berusia lima puluh lima tahun, akan tetapi wajahnya masih nampak kemerahan dan sehat. Rambutnya masih hitam dan pakaiannya yang mewah dan indah membuat ia nampak masih muda. Pada pinggang kirinya tergantung gagang goloknya yang terbuat dari pada emas terhias mutiara, dan sarung goloknya juga terukir indah sekali.
Pada saat pesta sedang berjalan ramai-ramainya, tiba-tiba seorang penjaga dengan sikap hormat menghadap Liok Kong dan melaporkan,
“Lo-ya (tuan besar), di luar terdapat serombongan penari yang datang untuk menghibur lo-ya.”
Liok Kong menjadi heran akan tetapi juga gembira.
“Penari? Dari manakah dan siapa yang menyuruh dia datang?”
“Maaf, lo-ya. Hamba juga tidak berani langsung memberi perkenan masuk karena hamba juga merasa heran. Akan tetapi menurut penarinya, ia diperintah oleh seorang piauwsu di kota Buncu di Propinsi Cekiang sebagai sumbangan, karena piauwsu itu tidak dapat datang sendiri.”
Liok Kong mengingat-ingat dan tidak merasa mempunyai seorang kenalan piauwsu di Cekiang, akan tetapi karena ia ingin sekali melihat penari itu, ia lalu memberi perintah,
“Suruh dia masuk, biar aku sendiri yang bertanya kepadanya.” Penjaga itu tersenyum penuh arti. “Lo-ya takkan kecewa.
Penarinya benar-benar cantik seperti bidadari!”
Biarpun hatinya merasa amat girang mendengar kata-kata ini, akan tetapi dihadapan sekian banyaknya tamu-tamu orang kang-ouw yang memandang sambil tertawa-tawa, ia pura- pura marah,
“Jangan banyak cakap! Lekas suruh dia masuk!”
Penjaga itu memberi hormat lalu keluar lagi dan tak lama kemudian ia datang mengiringkan serombongan orang terdiri dari seorang penari wanita dan tiga orang laki-laki tua yang memegang alat musik. Melihat penari itu, seketika itu juga lenyaplah niat Liok Kong untuk mencari keterangan tentang piauwsu itu.
Ia hanya berdiri bengong dengan mata terbelalak dan ternyata bukan hanya dia seorang yang memandang dengan kagum sekali. Bahkan hampir semua mata para tamu laki-laki memandang dengan kagum dan terdengar pujian-pujian di sana-sini dari mulut tamu-tamu muda.
Penari itu adalah seorang dara berusia paling banyak delapan belas tahun dan cantik jelita bagaikan bidadari, tepat seperti yang dikatakan oleh penjaga tadi. Wajahnya yang berkulit kuning putih bersih bagaikan susu, membayangkan kemerahan pada sepasang pipinya, bagaikan bunga botan sedang mekar. Sepasang matanya jeli dan indah sekali, bersinar halus dan sayu akan tetapi amat tajam dan bening seperti mata burung Hong.
Entah mana yang lebih indah, sepasang matanya atau sepasang bibirnya. Bibir ini berbentuk indah, kecil penuh berkulit halus tipis, berwarna segar kemerahan bagaikan buah yang sudah masak. Hidungnya yang kecil mancung dan sepasang lesung pipit di kanan-kiri pipinya menyempurnakan kecantikannya. Rambutnya agak awut-awutan kurang teratur rapi, akan tetapi hal ini, sekali-kali tidak mengurangi kecantikannya, bahkan mendatangkan kewajaran kepada wajahnya, menambah kemanisan yang benar-benar menggairahkan kalbu tiap laki-laki.
Bentuk tubuhnya menggiurkan, ramping dan penuh, terbungkus oleh pakaian dari sutera indah dan ringkas potongannya. Bajunya berwarna merah muda dan baju yang terbuat dari pada sutera di waktu tertiup angin mencetak tubuhnya dan mendatangkan pemandangan yang benar-benar luar biasa. Celananya ringkas, dari sutera biru dan pakaian ini masih tertutup oleh sehelai mantel kuning yang lebar. Sepatunya hitam dan penuh debu, tanda bahwa gadis cantik ini telah datang dari tempat jauh.
Tiga orang laki-laki tua yang mengikutinya dan membawa alat musik nampak seperti penabuh musik biasa saja, dan mereka nampak agak takut-takut memasuki ruangan gedung yang indah mewah dan penuh dengan tamu-tamu yang berwajah menyeramkan itu. Akan tetapi, gadis penari itu cepat maju dan berlutut di depan Liok Kong setelah penjaga memberitahukannya bahwa orang tua berbaju mewah itulah adanya Liok-wangwe.
“Hamba datang membawa pesan dari Tan-piauwsu di Buncu untuk menyampaikan ucapan se lamat panjang umur dan hormat yang setinggi-tingginya kepada Liok-loya.” Suara yang keluar dari bibir indah ini amat merdu bagaikan nyanyian burung.