Dendam Si Anak Haram Chapter 51

NIC

“Totiang, saya minta dengan hormat dan sangat agar totiang sekalian tidak mencampuri urusan pribadiku ini. Biarlah saya menyelesaikan sendiri urusan ini dengan Sin-to Hek-kwi.”

“Hemm, orang muda. Biarpun taihiap seorang pendekar yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun usiamu masih amat muda sehingga perbuatan-perbuatanmu juga masih sembrono dan terburu nafsu. Apakah Sin-to Hek-kwi adalah musuh besarmu? Bagaimana kalau sampai taihiap keliru dan kesalahan membunuh orang lain?”

“Andaikata saya salah menduga pun tidak mengapa, seorang kepala rampok kejam seperti dia itu sudah sepatutnya dibunuh!” jawab Kwan Bu penasaran.

“Siancai ! Hal itu tidak beleh kau lakukan Bhe-taihiap. Sin-to Hek-kwi adalah sahabat kami, bahkan

sekutu kami, seorang pejuang yang gigih, yang tentu saja akan kami lindungi. Kami terpaksa melarangmu kalau kau hendak membunuhnya, taihiap. Harap kau suka berpemandangan jauh dan luas, dan mengerti akan kedudukan kami sebagai pejuang-pejuang yang tidak menghiraukan urusan pribadi karena urusan negara lebih penting!” Kwan Bu mendengus dengan sikap mengejek. Ia sudah bcsan mendengar tentang urusan negara ataupun urusan rakyat yang sesungguhnya adalah permainan orang-orang yang berambisi, orang-orang yang memperebutkan kedudukan melalui kemenangan-kemenangan dengan mengorbankan bangsa sendiri yang pahamnya berbeda atau berlawanan. Akan tetapi sebelum ia menjawab, Bu Keng Liong sudah melangkah maju. “Kwan Bu, dengarlah kata-kata totiang Ya Keng Cu yang mengandung kebenaran. Engkau sendiri, juga aku, tidak tahu siapa sebenarnya musuh besar ibumu. Dan memang benar bahwa Sin-to Hek- kwi adalah seorang kepala perampok, akan tetapi dia adalah sekutu kami untuk berjuang melawan kelaliman. Tentu saja tidak mungkin kami mendiamkan saja kalau kau hendak membunuhnya, aku tahu bahwa engkau seorang yang berpemandangan luas, maka tentu kau dapat mengerti keadaan kami.”

“Baiklah, Thai-ya, dan totiang serta sekalian orang gagah yang hadir di sini. Saya tidak akan membunuh Sin-to Hek-kwi, melainkan menahannya dan membawanya kepada ibu. Kalau ibu menyatakan bahwa bukan dia orangnya, saya berjanji membebaskannya, akan tetapi kalau benar dia musuh besarku, tentu saja saya tidak akan mengampuninya, biarpun siapa juga yang akan menentangnya!”

“He-he-he, orang muda! Ucapanmu takabur sekali dan kalau kami menurut saja, berarti engkau telah melempar kotoran di muka kami! Bagaimana kami dapat membiarkan engkau menangkap seorang kawan kami tanpa kami berusaha melindunginya? Tidak, Bhe-taihiap. Engkau sebaiknya membantu perjuangan kami, dan aku bersumpah atas nama semua orang gagah bahwa jika telah selesai urusan perjuangan yang lebih penting, kami akan membantumu sampai musuh besarmu itu dapat ditemukan!” Ucapan ini keluar dari mulut Ban-eng-kiam Yo Ciat, kakek tinggi kurus yang amat lihai. Berkerut alis Kwan Bu. Dia tidak boleh mundur berarti ia harus merana dalam kebimbangan, tersiksa eoeh dendam yang tak terlampiaskan.

“Kalau begitu, terpaksa aku akan melawan semua rintangan! Siapa yang membela musuh besarku, berarti ingin memusuhiku pula!”

“Benar, twako! Sikat saja, biar kubantu! oang-orang ini menjemukan sekali dan mereka berkawan dengan para perampok tentu bukan manusia baik-baik!” Teriak Giok Lam sambil mencabut goloknya untuk membantu sahabatnya yang agaknya akan menghadapi pengeroyokan itu.

“Perempuan hina, lebar sekali mulutmu!” Bu Siang Hwi sudah enerjang maju dengan sepasang pedang di tangan, menyerang Giek Lam dengan ganas. Giok Lam mendengus marah dan menggerakan goloknya.

“Tring-tring-tring…!” Pedang dan golok bertemu dahsyat dan selain suara nyaring, juga menimbulkan pijar bunga api.

“Siang Hwi, mundur!” bentak Bu Keng Liong.

“Lam-temm.. tahanl” seru pula Kwan Bu yang menjadi kikuk sekali karena ia terpaksa masih harus menyebut Lam-te (adik laki-laki Lam) kepada gadis itu.

“Biarkan aku mengurus dan menyelesaikan persoalan pribadi ini, jangan kau mencampurinya.” Kwan Bu menjadi khawatir sekali ketika Siang Hwi tadi bertanding menyerang Giok Lam, ia mengkhawatirkan kedua-duanya. tidak menghendaki seorang diantara mereka terluka. Dua orang gadis itu mencelat mundur, mentaati seruan-seruan itu. Sejenak mereka berdiri bertentangan. melanjutkan pertandingan mereka bukan dengan sinar senjata tajam, melainkan dengan sinar mata yang agaknya tidak kalah tajam eleh sinar golok atau pedang, saling menusuk dan saling membenci!

“Hemm, Bhe Kwan Bu! Engkau benar-benar seerang yang aneh sekali. Dalam pertemuan antara kita yang pertama kali, engkau menjadi lawan kami dan dalam pertemuan kedua engkau menjadi kawan kami. Kini pertemuan ketiga, kembali menjadi lawan! Dan selama itu, belum ada kesempatan bagi pinto untuk mencoba kepandaianmu. Mari kita main-main sebentar, hendak pinto lihat apakah engkau cukup pantas untuk memandang rendah kami kaum pejuang!” Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu. suheng dari Ya Keng Cu berkata dengan suaranya yang kecil nyaring. Kakek bongkok yang kedua lengannya panjang sekali hampir sampai ke kakinya ini telah meleles senjatanya yang telah mengangkat namanya tinggi di dunia kang-ouw, yaitu ikat pinggangnya yang terbuat dari kain istimewa, lebih lemas dari sutera dan lebih kuat daripada baja.

“Baiklah, agaknya aku harus dapat mengalahkan para locianpwe yang berada di sini terlebih dahulu sebelum aku diperbelehkan membawa Sin-to Hek-kwi sebagai tawanan!” Kwan Bu juga maklum bahwa calon-calon lawannya adalah orang-orang yang berilmu tinggi, tidak berani memandang rendah dan sekali tangannya bergerak, tanpa berkelebat segulung sinar merah darah yang menyilaukan mata dan Toat-beng-kiam telah berada di tangannya.

“Tahan dulu!” Bu Keng Liong mengangkat tangan dan mencegah dua orang itu saling gempur. Pendekar ini merasa cemas sekali menyaksikan betapa antara kawan-kawannya dan Kwan Bu akan terjadi bentrokan yang ia tahu pasti berkesudahan hebat. Bu Keng Liong sebetulnya merasa amat berterima kasih dan berhutang budi kepada Kwan Bu, juga diam-diam ia merasa suka dan kagum kepada pemuda bekas kacungnya ini. bahkan ia pernah mengharapkan menjodohkan Siang Hwi dengan pemuda ini.

“Kwan Bu, perlukah pertandingan antara kita sendiri dilanjutkan?” Kwan Bu menjura kepada bekas majikannya.

“Thai-ya, andai kata para locianpwe di sini bertemu dengan saya pada lain waktu dan lain tempat, kemudian saya ditantang, saya tentu tidak akan begini kurang ajar untuk memperlihatkan kebodohan dan akan mengaku kalah sebelum bertanding. Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi. Saya mempertahankan niat saya untuk menawan Sin-to Hek-kwi karena dendam pribadi, adapun para locianpwe, termasuk Thai-ya sendiri, mempertahankan kedudukan masing-masing sebagai seorang kawan Sin-to Hek-kwi yang harus memperlihatkan kesetiakawanan. Tidak ada cara lain lagi, yang merintangi saya menawan Sin-to Hek-kwi, terpaksa akan saya lawan.”

“Bagus, orang muda. Kau hadapilah pinto!” Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu sudah menerjang maju. Terdengar suara bersiut keras ketika sabuknya berubah menjadi segulung sinar kuning, sinar kuning yang melengkung panjang seperti seeker naga hidup menyerang ke arah Kwan Bu. Kwan Bu cepat menggerakkan tubuhnya, meloncat ke atas dan memutar pedang Toat-beng-kiam.

Bunyi desing pedang ini diikuti oleh berkelebatnya segulung sinar merah darah, dan ketika sinar kuning bertemu sinar merah, terdengar suara mendencing nyaring seolah-olah ada dua senjata keras bertemu. Sinar kuning membuyar dan terpental, akan tetapi terus melengkung dan menyambar kembali lebih dahsyat daripada tadi. Dalam gebrakan pertama kali ini Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu harus mengakui bahwa lawannya yang muda dan pernah mengalahkan sutenya, Ya Keng Cu, benar- benar memiliki ginkang yang hebat dan pedangnya yang bersinar merah darah itu ampuh sekali. Sebaliknya, Kwan Bu juga maklum bahwa kakek bongkok ini setingkat lebih lihai daripada Koai Kiam Teojin Ya Keng Cu maka ia tidak berlaku sungkan-sungkan lagi dan cepat ia mainkan ilmu pedangnya dengan pengerahan ginkangnya mengeluarkan jurus-jurus pilihan.

Pemuda ini masih belum mengenal betul kemampuan Toat-beng-kiam dan kehebatan ilmu pedang yang ia terima dari Pat-jiu Lo-koai, tidak sadar bahwa ilmu pedangnya adalah yang amat luar biasa sehingga membuat Pat-jiu Lo-koai selama puluhan tahun merupakan tokoh yang tak pernah terkalahkan. Kini ia mengerahkan ginkang dan mengeluarkan jurus-jurus pilihan, tentu saja Sin-jiu Kim-wan menjadi terkejut sekali dan tak dapat bertahan lama-lama. Kakek bongkok yang biasanya jarang menderita kekalahan dalam setiap pertandingan silat ini tiba-tiba menjadi silau pandang matanya karena gulungan sinar pedang yang merah itu makin lama menjadi lingkaran-lingkaran yang lebar dan tebal, menggulung sama sekali lingkaran sinar senjata sabuknya, dan ia melihat pedang merah itu seolah-olah telah berubah menjadi ratusan banyaknya, dan bayangan pemuda lawannya tampak di empat penjuru.

Sin-jiu Kim-wan masih berusaha untuk mempertahankan diri dengan memutar-mutar sabuknya cepat melindungi seluruh tubuhnya, dan tangan kirinya mulai memukul-mukul ke arah bayangan yang tampak, yaitu menggunakan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sakti sehingga biarpun tangan yang memukul tidak menyentuh lawan, namun hawa pukulannya saja sudah cukup kuat untuk meremukan isi dada! Inilah kehebatan Sin-jiu Kim-wan sehingga ia dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Namun semua pukulan itu dapat ditahan oleh Kwan Bu dengan kibasan-kibasan tangan kirinya atau dengan sinar pedangnya yang makin cepat bergulung-gulung, kini seolah-olah telah menggulung dan menyelimuti seluruh tubuh lawan yang terkurung di tengah-tengah. Tiga puluh jurus telah lewat dan tiba-tiba terdengar Kwan Bu berkata.

“Totiang maafkan aku!” Pemuda itu ternyata talah melompat mundur dan kini berdiri dengan tenang, pedangnya sudah tidak di tangannya lagi karena sambil melempat tadi ia telah menyimpan kembali pedangnya. Adapun Sin-jiu Kim-wan berdiri dengan muka pucat, sabuk di tangannya putus menjadi dua dan lengan kirinya di atas siku terluka dan berdarah. Kakek ini menarik napas panjang, lalu menggeleng kepala dan tahulah ia bahwa kalau pemuda itu menghendaki, saat ini ia tentu telah berada diakhirat!

“Sungguh hebat murid Pat-jiu Lo-koai, pinto mengaku kalah.” Ban-eng-kiam Yo Ciat meloncat maju.

“Bhe Kwan Bu, engkau patut dikagumi. Biarlah aku merasakan bagaimana lihainya ilmu pedang dari Pat-jiu Lo-koai!” sambil berkata demikian tangannya bergerak dan tampak sinar putih berkelebat ketika pedang perak berada di tangannya. Ketika kakek yang tinggi kurus ini memutar pedang, terdengar suara melengkin seperti suling ditiup. Kwan Bu maklum bahwa dia harus mengalahkan mereka ini, seorang demi seorang sebelum ia dapat menawan Sin-to Hek-kwi, maka ia mencabut Toat-beng-kiam, melintangkan pedang merah di depan dada dan berkata,

“Locianpwe, silakan kalau hendak memberi pelajaran kepadaku.” Suara melengking itu makin meninggi dan Yo Ciat sudah menerjang dengan gerakan pedang yang amat dahsyat.

Kwan Bu terkejut, maklum bahwa lawannya benar-benar seorang ahli pedang yang pandai, maka iapun cepat mengimbangi kecepatan lawan, menangkis dan membalas menyerang. Pertandingan sekali ini benar-benar hebat. Dua gulung sinar pedang yang berkilauan, satu putih dan yang kedua merah. saling gulung dan libat, kadang-kadang merupakan lingkaran-lingkaran yang saling mendesak. diiringi suara melengking tinggi dari pedang Ban-eng-kiam Yo Ciat. Mungkin dalam hal tingkatan ilmu silat, Yo Ciatt tidaklah banyak selisihnya dengan Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu, akan tetapi dalam ilmu pedang yang dimainkan Kwan Bu bertemu tanding dan pertandingan itu menjadi makin seru. Gerakan mereka cepat sekali, tubuh mereka lenyap terbungkus sinar pedang dan hanya dapat diikuti pandang mata para ahli silat tinggi yang hadir di situ.

Bagi para anggauta perampok dan mereka yang kurang tinggi ilmunya, yang tampak hanyalah dua gulungan sinar pedang saja, kelihatan amat indahnya. Sin-te Hek-kwi makin lama menjadi makin gelisah. Pemuda yang memusuhinya itu benar-benar lihai sekali. Kini, melihat bahwa Ban-eng-kiam Yo Ciat dapat mengimbanginya, ia menjadi girang dan diam-diam ia telah mempersiapkan jarum- jarumnya. Dalam hal ilmu golok, biarpun kepala rampok ini tidak dapat menandingi Kwan Bu, namun ia masih memiliki kepandaian yang amat diandalkan, yaitu mempergunakan senjata rahasia jarum- jarumnya. Ketika terbuka kesempatan baginya, cepat kedua tangannya bergerak dan tujuh batang jarum meluncur cepat ke arah Kwan Bu yang sedang didesak oleh Yo Ciat. Dua batang menyambar mata, sebatang tenggerekan, dua batang kedua lengan dan dua batang lagi menyerang perut!

“Twako, awas !” Giok Lam menjerit dan gadis ini telah menggerakkan tangannya pula. Tiga batang

Posting Komentar