Dendam Si Anak Haram Chapter 49

NIC

“Baiklah, Lam-te. Engkau merupakan orang pertama yang akan mendengar riwayatku. Bukan sekali- kali aku tidak mau menceritakan kepadamu kaena aku tidak percaya kepadamu, melainkan karena ceritaku ini hanya akan membuat engkau memandang rendah kepadaku dan. aku sungguh tidak

ingin kehilangan persahabatan ini.”

“Wah, engkau ini aneh, twako. Persahabatan dijalin karena orangnya, rasa suka tumbuh karena sifat pribadi orangnya. Aku suka bersahabat denganmu karena pribadimu, dan tentang asal usulmu tidak ada sangkut pautnya dengan persahabatan kita, Aku hanya ingin tahu sehingga aku mengerti siapa yang akan kuhadapi dalam membantumu, dan apa pula yang menjadi kesalahan musuhmu itu.”

“Lam-te, riwayatku tidak menarik dan dengan mengetahui riwayatku, petama-tama engkau hanya akan mengetahui bahwa aku yang kau anggap sahabat ini sebetulnya adalah seorang yang hina dan rendah!”

“Twako…!”

“Seorang kacung, anak seorang bujang..?

“Bu-twako! Kenapa kau berkata demikian?” Kwan Bu termenung dan mengerutkan alisnya yang tebal. Teringat ia akan makian-makian yang diterimanya dari Liu Kong, dan dari Siang Hwi. Dia dimaki sebagai anak haram! Dia tersenyum pahit.

“Memang demikianlah kenyataanya, Lam-te.” Kwan Bu lalu bercerita dengan suara lirih penuh kepedihan hati, tentang ibunya yang dibikin buta sebelah matanya oleh kepala rampok, tentang keluarga ibunya yang dibasmi oleh perampok itu, dan betapa ibunya terlunta-lunta dan menjadi bujang, dia sendiri menjadi kacung,

“Aku seorang miskin, Lam-te. Hidupku sengsara, bahkan musuh besarku tidak pernah kulihat orangnya, tidak kuketahui namanya. aku hanya akan membawamu kedalam permusuhan- permusuhan dan ke dalam kesengsaraan serta bahaya,” akan tetapi Giak Lam sudah menjadi marah sekali. Ditepuknya paha sendiri dan dia berseru. “Jahanam betul kepala rampok itu! Sudah membasmi keluargamu, masih begitu kejam untuk membikin buta sebelah mata ibumu, Bu-twako, aku bersumpah untuk membantumu mencari musuh besar itu, membantumu membalas dendam yang sedalam lautan itu!”

Kwan Bu terharu sekali. Gadis ini yang menyamar sebagai pemuda, sama sekali tidak mendengar bahwa dia adalah seorang kacung, anak seorang bujang. alangkah jauh bedanya dengan Liu Kong, dengan Siang Hwi! Tak terasa lagi, saking terharunya, ia memegang tangan Giok Lam dan dan menggengamnya erat-erat. Sejenak tangan mereka saling genggam erat. akan tetapi Kwan Bu segera teringat bahwa “pemuda” itu adalah seorang gadis, dan betapa lunak dan hangat tangannya, halus sekali telapak tangan itu. Teringat akan ini, mendadak Kwan Bu merenggut tangannya, terlepas dari pegangan.

“Kenapa, twako...?” Giok Lam bertanya, kaget dan heran, juga khawatir karena wajah Kwan Bu menjadi merah sekali.

“Tidak apa-apa..? Kwan Bu menjadi gugup. akan tetapi segera dapat menekan perasaanya, “hanya... aku menyesal kalau sampai terjadi sesuatu pada dirimu, Lam-te. aku membuat engkau repot saja, dan mencari musuhku ini sama halnya dengan meraba-raba dalam gelap. ”

“Jangan berpikir demikian. Kita sahabat bukan?”

“Baiklah kita mengaso dulu, Lam-te. Nanti setelah gelap baru kita menyelinap ke atas.”

Giok Lam kelihatan lega dan “pemuda” ini duduk bersandar pada sebatang pahan, memejamkan matanya. Kwan Bu duduk merenung, memandang sahabatnya itu. Timbul rasa geli di hatinya bercampur haru. Betapa panjang dan lentik bulu mata itu, ah, Giok Lam. aku sudah tahu bahwa kau seorang gadis. akan tetapi betapa mugkin ia membuka rahasia itu? Tentu hanya akan menimbulkan kikuk pada Giok Lam. Biarlah, dia akan menyimpan rahasia itu, pura-pura tidak tahu. Kwan Bu lalu bersandar pula pada batang pohon di depan Giok Lam memejamkan matanya. ia mencoba untuk membayangkan Giok Lam sebagai seorang gadis cantik. akan tetapi selalu gagal karena setiap kali ia membayangkan Giok Lam dengan rambut digelung seperti wanita, dengan pakaian wanita selalu yang terbayang adalah wajah…., Siang Hwi!

Dan bayangan wajah Siang Hwi ini menimbulkan rasa perih di hatinya, juga rasa rindu yang hebat. Ia menarik napas berulang-ulang, hatinya mengeluh dan menyebut nama Siang Hwi. Malam pun tiba. Kegelapan menyelimuti pegunungan Hek-kwi san. Di atas bukit, dimana terdapat bangunan yang dikurung tembok tingi, tempat yang dijadikan markas besar gerombolan perampok kelihatan lampu- lampu dinyalakan. Namun di luar tembok kegelapan merajai tempat itu. Dua sosok bayangan Kwan Bu dan Giok Lam berkelebat menyelinap diantara pohon-pohon, mendekati pondok penjagaan dengan hati-hati. Gerakan mereka sangat ringan dan sebentar saja mereka telah menyelinap di samping pondok, mendengar percakapan antara dua orang penjaga yang mengatasi kesunyian dengan bercakap-cakap.

“Heran, mengapa tai-ong melibatkan diri dengan para pejuang itu. apa sih untungnya? wah,kita tentu rugi saja, tidak bisa menikmati hasil perampaokan, tidak dapat lagi melarikan gadis-gadis agar ”

“Ah, kau tahu apa? Para pejuang itu kalau berhasil tentu akan memberi kesempatan kepada kita untuk mengambil harta benda pembesar-pembesar pemerintah. Tentang wanita......, jauh lebih menyenangkan puteri pembesar dari pada gadis-gadis dusun.” “Tai-ong sendiri sekarang tidak pernah menculik wanita, Mngapa dia tidak kawin saja, memilih seorang wanita yang cantik. Dengan demikian maka dia benar-benar dapat beristirahat dengan tenteram di rumah dan membiarkan kami yang bekerja.”

“Mana tai-ong suka menikah? Hanya akan mengganggu saja, Tahukah engkau, setiap kali mendapatkan wanita, tai-ong tentu akan membunuhnya, karena menurut tai-ong, dendam seorang wanita paling berbahaya, Maka setiap kali menculik wanita, kalau sudah bosan lalu dibunuhnya wanita itu.”

“Tentu saja aku tahu! Sayang sekali adalah gadis dari kampung Boan-hak-cun dahulu itu. Cantik manis sekali orangnya, akan tetapi galak sehingga tai-ong bosan, dengan dua batang jarum gadis itu dibutakan matanya kemudian dibunuh! Sayang! Kalau diberikan padaku..?”

“Hushh…! Jangan main-main. Hati-hati dengan mulutmu. Kalau sampai tai-ong dengar, mungkin mulutmu yang dijadikan sasaran jarum-jarumnya yang lihai itu!” Gemetar kaki Kwan Bu mendengar percakapan itu, jantungnya berdebar agaknya sekali ini ia tidak akan keliru lagi. Tentu Sin-to Hek-kwi lah orangnya! agaknya sudah biasa membikin buta mata orang dengan jarumnya yang lihai! Termasuk mata ibunya! Ia memberi isarat dengan tangan kepada Giok Lam, kemudian menggandeng tangan sahabatnya itu untuk mengambil jalan memutar sehingga mereka berada di luar tembok yang letaknya di bagian belakang.

“Kita melompat dari sini, Lam-te.” Bisik Kwan Bu, Siok Lam menggeleng kepala. “Terlalu tinggi twako.”

“Berpeganglah kepada tanganku!” Giak Lam memegang tangan Kwan Bu, kemudian keduanya mengerahkan tenaga dan menggunakan ginkang melompat ke atas. Giok Lam merasa betapa tangannya ditarik ke atas sehingga ia dapat mencapai tembok itu, kemudian dari atas mereka melayang turun ke sebelah dalam dan ternyata mereka tiba di sebuah taman yang gelap dan sunyi. Melihat betapa bangunan-bangunan di situ berderet-deret rapat, Kwan Bu berbisik.

“Kita menyelidik dari atas genteng!” Kwan Bu mendahului sahabatnya meloncat naik ke atas genteng. Karena sukar untuk mengikuti gerakan Kwan Bu yang langsung meloncat ke wuwungan tertingi, Giak Lam meloncat ke atas genteng terendah dan dengan tiga lompatan Ia baru dapat berdiri di samping Kwan Bu. Dari atas, Kwan Bu mengajak Giak Lam untuk menuju ke bangunan terbesar, karena ia menduga bahwa kepala rampok itu tentu mendiami bangunan terbesar. akan tetapi, baru saja mereka tiba di bangunan samping, tiba-tiba terdengar suara keras, genteng yang mereka injak pecah dan beberapa sinar hitam berkelebat dari bawah disusul bentakan nyaring.

“Siapa berani mengganggu disini?” Kwan Bu sudah siap, maka begitu kakinya terpeleset. ia sudah melompat dan kedua tangannya bergerak menyampak runtuh beberapa piauw yang menyerang dia dan Giok Lam. Giok Lam juga kaget dan cepat melancat ke kiri, akan tetapi karena di sinipun ia disambut dengan beberapa batang piauw yang amat cepat datangnya, ia mengelak dengan jalan berjungkir balik.

Sayang kakinya menginjak pingiran genteng yang menjadi pecah sehingga tubuhnya melayang, terjengkang ke bawah! Kwan Bu yang menyaksikan bahaya mengancam temannya, sudah cepat mendahului Giok Lam melayang ke bawah kemudian ia menyambar tubuh Giok Lam yang biarpun tidak akan terbanting hebat, namun karena belum dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, tentu akan mengalami kaki patah kalau sampai terbanting. Dengan terengah-engah Giok Lam yang dipeluk Kwan Bu ketika menyambut tubuh temannya itu, membalas memeluk dan tanpa sengaja dada mereka berdekapan dan berdempetan. Terasa oleh Kwan Bu betapa dada gadis itu berdebar-debar. Ia merasa canggung dan jengah sekali, akan tetapi masih teringat untuk tidak membuka rahasia Giok Lam.

Posting Komentar