Dendam Si Anak Haram Chapter 46

NIC

“Ha-ha-ha-ha!”

“Wuuuutttt......!” Ujung tongkat Kim I Lohan menyambar ke arah kepala Siok Lun yang bergerak- gerak tertawa. Akan tetapi dengan gerakan gesit dan mudah saja Siok Lun sudah mengelak sehingga sinar tongkat itu menyambar lewat. Hal ini mengejutkan hati Kim I Lohan dan Gin-sang-kwi, karena serangan tadi tiba-tiba datangnya dan amat hebat, sukar di elakkan oleh sembarang orang. Namun pemuda tampan itu sambil tertawa bergelak mampu mengelakkan amat mudahnya, masih sambil tertawa!

“Eh, orang muda, sebetulnya apa maksudmu tertawa-tawa? Apakah engkau sengaja hendak menghina kami!” Gin-sang-kwi bertanya, siap dengan senjatanya yang hebat, yaitu sebuah kipas perak yang sudah ia keluarkan dan dipergunakan untuk mengebut-ngebut dadanya, mengusir panas.

“Tidak sekali-kali saya bermaksud menghina. Hanya merasa geli sekali mengapa Lociangkun rnembawa-bawa sekian banyak pengawal hanya untuk membasmi para perampok saja! Apakah para pengawal kerajaan demikian tiada gunanya sehingga untuk membasmi perampok saja harus datang berbondong-bondong?”

“Bocah Sombong” Terdengar bentakan marah dan seorang pengawal sudah meloncat turun dari kudanya dan langsung lari ke depan.

“Tai ciangkun, perkenankan hamba membunuh bocah sombong ini!” Pengawal ini masih muda dan tinggi besar serta memiliki kepandaian tinggi karena mereka semua adalah barisan pilihan.

Lu Mo Kok yang berjuluk Gin-sang-kwi (Setan Berkipas Perak) adalah pengawal nomor satu di istana. Tentu saja ia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali dan melihat gerakan Siok Lun ketika menghindarkan diri dari sambaran tongkat Kim I Lohan tadi saja sudah menilai tingkat kepandaian pemuda itu dan tahulah dia bahwa pengawal muda yang menjadi anak buahnya ini tidak akan mampu melawan pemuda itu. Akan tetapi sebagai pengawal kelas satu dari istana, ia cukup cerdik. Ia ingin melihat sampai di mana kepandaian Siok Lun, dan dari sebuah pertempuran ia akan dapat meneliti dan mencari kelemahan lawan. Untuk itu, tidak mengapa mengorbankan seorang anak buah untuk dikalahkan lawan. Maka ia mengangguk.

Pengawal itu masih muda. Usianya belum tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan bertenaga kuat. Tadi ketika melihat Bi Hwa, jantungnya sudah berdebar karena sekaligus ia jatuh hati kepada gadis yang cantik jelita dan kelihatan gagah perkasa itu. Sebagai seorang bawahan, tentu saja ia kalah muka oleh para pemimpin, maka untuk menonjolkan diri agar dikagumi gadis jelita itu, ia telah mengajukan diri untuk menandingi pemuda yang berani bersikap kurang ajar dan sombong terhadap komandan-komandannya. Kini, setelah mendapat perkenan, ia melangkah maju, membusungkan dada dan matanya mengerling tajam ke arah Bi Hwa, kerling seorang pria yang berlagak terhadap seorang wanita. kemudian ia menghadapi Siok Lun yang masih tersenyum-senyum dan berkata.

“Sobat, ucapanmu itu sungguh sombong, biarpun kau hendak mengatakan bahwa kau tidak menghina. Seolah-olah hanya engkau sendiri seorang laki-laki yang gagah perkasa. Coba kau hadapi kedua kepalanku kalau memang kepandaianmu sehebat mulutmul” Siok Lun memandang pengawal muda ini lalu tersenyum. Hatinya merasa geli. Sebagai seorang pemuda yang sudah banyak mengenal wanita dan tahu akan keadaan seseorang yang tergila-gila, ia tahu bahwa pengawal muda ini tertarik kepada sumoinya. Ia tidak menjadi cemburu, karena ia yakin bahwa bagi sumoinya, seorang pengawal seperti ini sama sekali tidak ada artinya. Maka ia sengaja berkata kepada sumoinya.

“Sumoi, kau wakililah aku melayani pengawal cilik ini.” kemudian ia berkata ditujukan kepada Gin- sang-kwi dengan suara mengandung ejekan.

“Lociangkun saya hendak membuktikan kepada lociangkun sekalian betapa tidak ada gunanya membawa-bawa barisan pengawal yang tidak ada kemampuan. Aku dan sumoiku ini bisanmembasmi para perampok hanya berdua saja. Nah, sumoi, mulailah.”

Bi Hwa juga bukan seorang wanita bodoh. Tadinya ia terkejut dan merasa heran menyaksikan suhengnya seolah-olah hendak mencari perkara dan permusuhan dengan para pengawal istana. padahal bukankah cita-cita mereka berdua itu selain hendak membasmi perampok-perampok sebagai pelaksanaan membalas dendamnya, juga hendak membantu pemerintah agar mereka memperoleh kedudukan tinggi? Kini, setelah mengikuti kata-kata dan sikap suhengnya, dia dapat menduga bahwa suhengnya hanya ingin mendemonstrasikan kepandaiannya agar mendatangkan kesan di hati para pengawal. Maka ia tersenyum manis dan melangkah maju menghadapi pengawal muda itu yang hatinya seperti ditarik-tarik oleh senyum dan kerling mata yang demikian manisnya.

“Apakah engkau seorang pengawal istana? Kabarnya pengawal-pengawal istana memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Biarlah aku hendak mencoba-mencoba. Silakan maju, hendak kulihat sampai di mana kehebatan kaki tangan seorang pengawal istana!” Pengawal muda itu makin pening, karena jantungnya makin berdebar-debar keras mendengar suara merdu itu. Ia menjadi ragu-ragu. Haruskah ia menghajar wanita cantik yang telah menjatuhkan hatinya ini? Tadinya ia ingin mengalahkan Siok Lun agar dikagumi wanita ini, siapa tahu kini wanita itu malah yang hendak maju melawannya!

“Ah, aku seorang pengawal istana yang gagah perkasa. Mana mungkin aku disuruh melawan seorang gadis muda yang lemah?” Gin-sang-kwi bermata tajam. Iapun melihat betapa ketika melangkah maju tadi, gerakan kaki Bhi Hwa amat mantap dan tubuhnya ringan, tanda bahwa gadis muda itupun memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apalagi mengingat bahwa gadis itu adalah sumoi dari pemuda tampan yang lihai ini. Maka ia menjadi tidak sabar menyaksikan sikap anak buahnya yang jelas hendak mengambil hati wanita itu. Ia membentak.

“Orang telah menentangmu, mau tunggu apalagi? Hayo coba kalahkan nona ini!” Pengawal muda itu terkejut dan ia cepat memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, kedua kakinya dipentang di kanan kiri, kedua lutut ditekuk, merupakan kuda-kuda yang disebut Pasangan Menunggang Kuda, lengan kiri ditekuk dengan tangan terbuka di depan dada, tangan kanan dikepal merapat pinggang.

“Aku sudah siap. Majulah, nona!” katanya dengan sikap gagah. Namun Bi Hwa tersenyum, sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan menjawab. “Engkau yang hendak mencbba kepandaian kami, bukan? Nah, kau kalahkan aku kalau memang mampu!” Merah wajah pengawal muda itu, namun karena khawatir ditegur lagi oleh komandannya ia berkata lagi.

Posting Komentar