“Ayah bundaku mati oleh perampok-perampok yang tidak kukenal, akan tetapi tekadku setelah aku tamat berguru, aku akan membasmi semua perampok yang ada! Di samping itu, sejak kecil aku hidup dalam keadaan miskin dan hina, maka aku bercita-cita untuk hidup mulia, terhormat, dan kaya raya!” Siok Lun tertawa gembira.
“Cocok... Siapa orangnya tidak bercita-cita seperti engkau, sumoi? Tentang pembasmian para perampok, jangan khawatir, aku akan membantumu. Tentang cita-cita yang lain, amatlah cocok dengan isi hatiku, sumoi. Ayahku sendiri seorang hartawan yang cukup kaya raya, akan tetapi akupun belum puas kalau belum bisa memperoleh kedudukan tinggi. Sekarang ini kerajaan sedang diganggu banyak orang jahat di dunia kang-ouw, maka sudah menjadi kewajiban kita dan merupakan kesempatan amat baik pula untuk membantu kerajaan sehingga sekali tepuk kita memperoleh dua ekor lalat. Pertama kita dapat membasmi perampok dan membalas sakit hatimu, kedua kita akan berjasa dan memperoleh kedudukan di kerajaan.” Wajah yang cantik itu berseri.
“ltulah yang kucita-citakan, suheng.” Siok Lun menarik tubuh sumoinya, memeluk dan meciumnya mesra, dan sekali ini Bi Hwa tidak menolak, bahkan membalas pernyataan kasih sayang itu. “Tenangkan dan senangkan hatimu, sumoi karena semua cita-cita itu akan terkabul. Akan kulaksanakan kesemuanya, demi cintaku kepadamu.” Tak lama kemudian, dua orang kakak beradik seperguruan yang kini menjadi dua orang yang saling mencinta itu meloncat bangun sambil melepaskan pelukan masing-masing. Pendengaran telinga mereka yang tajam terlatih itu mendengar derap kaki banyak kuda mendatangi dari depan.
“Hemmm. siapakah mereka yang berani mengganggu kita!” Siok Lun mengomel dengan hati kecewa dan marah. Ia merasa terganggu sekali dan kemarahannya sudah ia siapkan untuk ditumpahkan kepada para penunggang kuda!
“Suheng, sabarlah. Mereka tidak mengganggu, bahkan tidak tahu kita berada di sini. Lagipula, apanya sih terganggu?”
“Orang sedang nikmat-nikmat...”
“lhh. suheng! Apakah memang dunia akan kiamat ini hari? Besok-besok masih banyak hari bagi kita berdua.”
“Ha-ha, dewiku, kau benar! Biarlah mereka itu didenda dengan dua ekor kuda, kebetulan ada yang datang mengantar kuda, kita membutuhkan dua ekor kuda yang baik untuk melanjutkan perjalanan.”
“Wah, celaka! Apa kau ingin menjadi perampok?” Bi Hwa memandang terbelalak. Akan tetapi Siok Lun tersenyum.
“Untuk membeli seratus ekor kuda aku masih mampu, perlu apa merampok? Ini hanya untuk menghajar mereka yang sudah berani lewat di sini mengganggu kita.” Bi Hwa tidak sempat membantah lagi karena rombongan berkuda itu sudah datang dekat dari depan.
“Wah, rupanya sebuah barisan!” Siok Lun berseru kecelik, dan memang dugaanya itu benar belaka.
Di sebelah depan rombongan itu tampak dua orang kakek berpakaian gemerlapan dan indah, di samping seorang pemuda yang gagah dan tampan pula. Di belakang mereka ada barisan berkuda terdiri dari tiga puluh orang lebih. Sebuah bendera besar bersulam benang emas bertuliskan huruf- huruf besar BARISAN PENGAWAL KERAAJAAN. Mereka ini bukan lain adalah barisan pengawal yang dikepalai oleh Gin-sang-kwi Lu Mo Kok, kakek berpakaian benang emas yang tubuhnya bongkok, yang kelihatannya tidak mengesankan namun sesungguhnya adalah tokoh pengawal kerajaan nomor satu! Adapun kakek kedua adalah seorang hwesio berjubah kuning emas yang memegang tongkat kepala ular emas, dia ini bukan lain adalah Kim I Lohan, pengawal tingkat dua. Pemuda adalah Liu Kong yang kini sudah berpakaian seperti seorang pengawal dan menjadi pembantu Lu Mo Kok.
Seperti kita ketahui, pengawal-pengawal tingkat tinggi ini pernah bentrok dengan Kwan Bu, kemudian malah bertempur melawan serbuan para pemberbntak anti kaisar yang datang hendak menolong Bu Keng Liong pendekar Tian-cu bersama puterinya yang tertawan. Karena dalam keributan ini Sam-tho-eng Ma Chiang, pengawal tingkat dua telah tewas di tangan Kwan Bu, hal ini membuat para pengawal menjadi marah sekali.Kematian seorang panglima pengawal kerajaan berarti meruntuhkan pamor mereka. Maka kini barisan pengawal itu mulai mengadakan “pembersihan” dan terutama sekali yang menjadi sasaran adalah rombongan pemberontak atau anti kaisar yang dipimpin oleh Bu Keng Liong, Ya Keng Cu, Ya Thian Cu, Yo Ciat dan yang lain-lain yang pernah bentrok dengan mereka itu. Melihat seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik menghadang di tengah jalan dekat hutan, Gin-sang-kwi menjadi curiga dan ia menahan kendali kudanya sambil memberi isarat kepada anak buahnya untuk berhenti. Kemudian, dengan tenang ia menjalankan kudanya perlahan ke depan mengenali dua orang muda itu, diikuti oleh Kom l Lohan dan Liu Kong yang juga menjalankan kuda mereka perlahan-lahan. Ketika Siok Lun segera mengenali barisan ini dan diam-diam pikirannya yang cerdik mendapat akal. Inilah kesempatan yang amat baik baginya untuk mencari jasa dan pahala. Bukankah barisan pengawal kerajaan merupakan barisan yang paling berpengaruh? Apalagi ketika ia membaca huruf huruf di bendera itu, hatinya berdebar. Ia lalu memandang ke arah Gin-sang-kwi penuh perhatian dan penuh pertanyaan di dalam hati. Seperti itukah yang disebut panglima pengawal kerajaan?
“Hai, orang muda. Siapakah engkau dan apa maksudmu menghadang barisan kami? Tidak dapatkah engkau membaca bendera ini?” Kim I Lohan sudah menegur Siok Lun dengan suara parau nyaring.
“Wah, kalau yang memegang tongkat kepala ular ini cukup gagah, akan tetapi mengapa seorang panglima berpakaian seorang hwesio dan kepalanya gundul?” Demikian pikir Siok Lun. Ia lalu menjura dan tersenyum.
“Tentu saja saya dapat membaca dan mengerti bahwa barisan ini adalah barisan pengawal kerajaan. Justeru karena itulah saya sengaja menghadang karena ingin bicara dengan pemimpinnya, kalau rombongan lain tanpa bertanya tentu sudah dari tadi aku turun tangan memberi hajaran!” Bi Hwa sampai kaget mendengar ucapan suhengnya ini, akan tetapi ia bersikap tenang sungguhpun hatinya tegang. Bagaimana sih suhengnya atau juga kekasihnya ini? Berani main-main seperti itu terhadap rombongan barisan pengawal kerajaan?
“Orang muda, apa maksudmu!?” kini Gin-sang-kwi Lu Mo Kok yang menegur dan diam-diam Siok Lun dapat mengukur bahwa kakek bongkok ini lebih berbahaya dari pada si hwesio, di dalam suaranya terkandung khi-kang yang kuat sekali. Kembali ia menjura, kali ini kepada Lu Mo Kok sambil berkata,
“Agaknya Lociangkun (panglima tua adalah pemimpin barisan ini?” “Benar, katakanlah apa maksudmu.”
“Tadi saya bersama sumoi saya ini sedang enak-enak mengaso di sini, dan kedua ekor kuda kami sedang makan rumput. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda barisan Lociangkun sehingga dua ekor kuda kami kaget dan melarikan diri entah ke mana. Kalau rombongan lain melakukan hal ini tentu kami tidak mau terima, akan tetapi setelah kami tahu bahwa yang datang adalah barisan pengawal, maka kami hanya ingin bertanya, apa maksudnya Lociangkun memimpin barisan pengawal? Bukankah barisan pengawal itu tugasnya mengawal dan menjaga keselamatan raja di istana? Ataukah hendak maju perang? Kalau maju perang, melawan siapa?” Kini Liu Kong yang membentak dengan hati tidak sabar. Melihat sepasang orang muda ini yang tampan dan cantik, juga sikap mereka yang gagah, diam-diam ia merasa kagum dan suka. Akan tetapi siapa kira sikap pemuda itu amat sombong dan lancang, dan Liu Kong tidak menghendaki kedua orang itu celaka di tangan rombongan pengawal. Maka ia mendahului dua orang tokoh pengawal itu dan membentak,
“Wah, engkau ini apakah sudah bosan hidup? Mengapa begini lancang dan mencampuri sebuah urusan barisan pengawal? Lekas pergilah dan jangan mengganggu, kalau sampai kami hilang sabar, kalian akan kehilangan kepala!” Siok Lun mengerling ke arah Bi Hwa sambil tersenyum. Gadis itu tersenyum dan tampaklah kecantikan Bi Hwa makin gemilang. “Wah, sumoi, yang ini galak benar! Agaknya karena masih muda dan baru saja menduduki pangkat.” Merah kedua telinga Liu Kong mendengar ini. Ia merasa tersindir, karena memang baru saja ia memakai pakaian perwira di tubuhnya ini. Betapapun juga, dia bukanlah seorang yang suka bertindak sewenang-wenang tanpa sebab, setelah bertahun-tahun digembleng wataknya oleh pamannya, Bu Keng Liong yang juga menjadi gurunya. Ia menahan kemarahan dan berkata lagi.
“Katakanlah, kami bertugas membasmi perampok-perampok dan pemberontak-pemberontak! Kalau kalian bukan perampok atau pemberontak, lebih baik lekas pergi.” Tiba-tiba Siok Lun tertawa terbahak sambil memegangi perutnya, diturut oleh Bi Hwa yang sesugguhnya belum mengerti apa yang ditertawakan suhengnya itu.