Dendam Si Anak Haram Chapter 44

NIC

“Aku sudah banyak merantau dan nama besar Sin-to Hek-kwi sudah sampai di mana-mana. Siapakah yang tidak mengenal kepala rampok Hek-kwi-san itu? Akan tetapi, twako, sungguh-sulit urusanmu itu. Apakah kau yakin benar bahwa Sin-to Hek-kwi itu musuh besarmu?”

“Tidak bisa yakin, Lam-te. Akan tetapi aku harus mencari terus sampai dapat. Tidak banyak kukira kakek yang mempunyai banyak keahlian golok dan jarum dan yang dua puluh tahun yang lalu menjadi kepala rampok. Aku akan menyelidiki ke Hek-kwi san.”

“Sungguh sukar. Siapa bilang tidak banyak yang pandai main golok dan jarum? Aku sendiri sejak kecil belajar golok dan jarum. Jangan-jangan ayahku itu musuh besarmu, twako!”

“Ah, jangan bergurau, Lam-te. Musuh besarku adalah seorang perampok sedangkan ayahmu tentulah seorang kaya raya dan terhormat.” Giok Lam tersenyum.

“Memang aku hanya main-main, twako. Ayah adalah seorang yang baik sekali, seorang hartawan yang suka melakukan derma dan tidak pernah mengganggu orang. Dan tentang penyelidikan ke Hek- kwi-san, aku akan ikut, twako. Kebetulan sekali aku banyak tahu akan daerah pegunungan itu sehingga kalau kiranya kau tidak memandang terlalu rendah tenagaku, aku dapat membantumu.” Menghadapi seorang gadis yang begini keras kepala, bagaimana Kwan Bu mampu menolaknya? kalau ia berkeras menolak, tentu ia akan menjadi marah dan membencinya, dan kalau ia berterus terang menyatakan bahwa ia sudah tahu akan rahasia penyamarannya, tentu ia akan tersinggung dan akan marah-marah pula. Dan dia sendiri tidak menghendaki gadis yang menarik hatinya ini marah-marah, apalagi benci kepadanya.

“Baiklah kalau begitu, sebenarnya terima kasih atas kebaikanmu, Lam-te. Semoga kelak aku dapat membalas budimu.” Giok Lam memperlebar senyumnya, kelihatan girang dan gembira sekali seperti seorang kanak-kanak dipenuhi permintaannya.

“Kalau hendak membalas budi mengapa tunggu sampai kelak? Sekarangpun bisa dimulai, twako, yaitu pertama jangan pamit minta berpisahan lagi dan kedua ajarkan aku satu dua macam ilmu yang lihai!”

Kwan Bu tertawa dan tahulah ia bahwa hidup di samping gadis ini dunia akan selalu tampak cemerlang, hatinya akan selalu gembira. Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Hek-kwi-san dan di sepanjang perjalanan Kwan Bu memberi bimbingan ilmu silat kepada gadis itu. Ia mendapat kenyataan bahwa sungguhpun gerakan gadis itu cukup gesit dan ringan namun dasar ilmu silatnya tidaklah amat tinggi. llmu golok yang dimilikinya juga tidak bersumber pada ilmu golok partai persilatan besar, melainkan campuran dan penuh tipu daya yang biasanya hanya dipergunakan golongan sesat di dunia kang-ouw. Namun tentu saja ia tidak mencela, bimbingan di mana perlu untuk memperkuat sesuatu jurus yang dimainkan gadis itu. Ia selalu berpura-pura tidak tahu bahwa Giok Lam adalah seorang gadis.

“Lam-te, kau ini aneh sekali! Mengapa setiap bermalam di penginapan selalu harus menyewa dua kamar? Apa sih halangannya kita tidur sekamar?” Kwan Bu sengaja bertanya untuk menggoda temannya ini ketika untuk ketiga kalinya mereka bermalam di losmen dan seperti biasa Giok Lam menyewa dua buah kamar untuk mereka. Dengan hati geli Kwan Bu melihat betapa sepasang mata yang tajam itu menjadi bingung dan sepasang pipi itu menjadi kemerahan. Giok Lam dengan lagak bergurau lalu menjawab.

“Sejak kecil aku tidak dapat tidur dengan orang lain. sekamar, apalagi sepembaringan! Aku tidak dapat mendengar orang mendengkur.”

“Akan tetapi aku bukan tukang ngorok!” bantah Kwan Bu. Giok Lam menahan ketawanya dan tanpa ia sadari sikap seperti inipun hanya dimiliki wanita-wanita muda sehingga Kwan Bu menjadi makin geli hatinya.

“Aku tahu, twako. Orang selihai engkau mana bisa mengorok kalau tidur? Jasmani kita yang sudah terlatih takkan dapat tidur senyenyak itu, betapapun lelahnya. Aku hanya main-main, maksudku, aku tidak dapat tidur kalau berdekatan dengan orang lain.”

“Hemm, barangkali keringatku berbau terlalu busuk sehingga kau tidak boleh tidur denganku!” Kwan Bu melanjutkan godaannya. Cuping hidung mancung yang tipis itu bergerak sedikit.

“Sama sekali tidak, twako. Keringatmu tidak berbau busuk. akan tetapi.._ ah, sudahlah, kuminta

pengertianmu bahwa sejak kecil aku tidak biasa tidur berteman sehingga kalau tidur berteman pasti semalam suntuk aku tidak akan bisa pulas. Apakah engkau menghendaki aku tersiksa dan tidak bisa tidur semalaman?” Kwan Bu menjadi kasihan dan tidak ingin menggoda terus. Demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke Hek-kwi-san dan di sepanjang jalan, hati Kwan Bu makin terpikat dan tertarik, merasa betapa gadis yang menyamar pria ini amat baik terhadap dirinya, merasa betapa gembira hatinya.

“Sumoi haruskah aku bersumpah untuk meyakinkan hatimu bahwa aku mencintaimu?” Dengan suara bernada sedih dan pandang mata penuh kasih sayang Siok Lun berkata kepada Bi Hwa. Mereka duduk di luar hutan, di bawah pohon besar. Tempat itu amat sunyi dan setelah ucapan Siok Lun itu terlewat dibawa angin, keadaan makin sunyi. Akhirnya terdengar jawaban gadis itu, suaranya halus akan tetapi mengandung penuh tegur dan sesal,

“Suheng, mengapa engkau mengejar-ngejarku? Sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku tidak ingin bicara tentang itu, bahwa sedikitpun tidak ada dalam pikiranku untuk mengenang soal cinta. Akan tetapi karena kau mendesak terus, biarlah kau ketahui pendapatku tentang cintamu. Suheng, akupun bukan seorang buta dan akupun telah tahu sejak lama bahwa engkau mencintaiku. Akan tetapi, sejak perbuatanmu di Pek-Hong-san terhadap aku. seperti itukah kelakuan seseorang yang

mencinta? Begitu tega dan keji untuk memperkosa? Untung ada sute yang muncul, kalau tidak. ah

aku akan menjadi benci sekali kepadamu.”

“Aah, sumoi, aku sudah menyatakan penjelasanku, aku sudah berkali-kali minta maaf. Perbuatanku itu hanya terdorong oleh nafsu, sumoi_ Akan tetapi percayalah. nafsu itu terhadap dirimu sama sekali tidak mengotorkan cinta kasihku. Aku tidak berniat menghinamu, tidak berniat mencemaskanmu, melainkan berniat mencintamu, menyenangkan hatimu. Sumoi, aku bersumpah takkan mengulang lagi perbuatan itu, dan aku telah merasa menyesal.”

Bi Hwa menundukkan mukanya, termenung. Harus ia akui di dalam hati bahwa karena semenjak kecil ia belajar bersama suhengnya ini, hatinya juga tertarik apalagi Siok Lun adalah seorang pemuda yang tampan, pandai mengambil hati, juga memiliki kepandaian tinggi. Ia tahu bahwa suhengnya ini mencintainya, iapun agaknya merasa bahagia kalau menjadi isteri suhengnya ini. Akan tetapi ada hal-hal yang masih menggelisahkan dan meragukan hatinya. Ia tahu pula kan kenakalan suhengnya yang suka bermain-main dengan wanita penduduk daerah Pek-hong-san. Ia tahu bahwa banyak wanita muda tergila-gila kepada suhengnya yang dalam hal ini tidaklah sealim sutenya, yaitu Bhe Kwan Bu. Kalau terkenang kepada Kwan Bu dan terbayang wajah sutenya itu,

Terbayang sifatnya yang sopan pendiam sebagai seorang pendekar tulen, timbul perasaan kagum dan mesra di hatinya. Apalagi karena ia tahu benar dalam hal ilmu silat, Kwan Bu biarpun merupakan murid termuda, namun agaknya mendapat kemajuan yang paling pesat. Dibandingkan dengan Siok Lun. Kwan Bu menang dalam banyak hal, hanya kalah dalam kepandaian merayu hati! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Liem Bi Hwa adalah puteri seorang sasterawan yang tewas oleh perampok yang menyerbu kampungnya, demikian pula ibunya tewas dalam malapetaka itu. Sejak kecil Bi Hwa ikut Pat-jiu Lo-koai menjadi muridnya. Anak ini pendiam, namun peristiwa pahit itu membentuk sebuah tekad di dalam hatinya. Sekarang, menghadapi rayuan Siok Lun, diam-diam ia mempertimbangkan rugi untungnya. kemudian dengan suara tetap ia berkata.

“Suheng, aku maafkan engkau dan akupun percaya penuh akan cinta kasihmu. Aku seorang sebatang kara, kini menerima perasaan cinta kasihmu, betapa hatiku tidak akan gembira? Akan tetapi, suheng. sebaiknya kita jangan membicarakan tentang ikatan jodoh terlebih dulu sebelum sakit hati dan penasaran hatiku terangkat. kuharap engkau akan dapat membuktikan cintamu dengan bantuan nyata terhadap kandungan haitku ini.” Girang bukan main hati Siok Lun. Sudah lama ia tergila-gila kepada sumoinya sendiri dan kini ia “mendapat hati”. Ia memegang tangan gadis itu, meremas- remas jari-jari halus itu dan berkata, suaranya sungguh-sungguh,

“Sumoi, percayalah, aku akan melakukan apa saja untukmu! Penasaran hati yang kau kandung itu adalah karena kematian orang tuamu bukan?”

“Hanya sebagian saja,” jawab Bi Hwa dan membiarkan saja tangannya dibelai.

Posting Komentar