Dendam Si Anak Haram Chapter 40

NIC

Kwan Bu terbelalak, lalu tertawa geli sambil hampir tersedak. Pemuda itu benar-benar kini hanya makan bakmi pesanannya dan daging panggang sederhana, tidak mau menyentuh pesanan masakannya sendiri yang belasan macam banyaknya itu. Berhadapan dengan pemuda seperti ini. Kwan Bu merasa kalah dan apa boleh buat, ia lalu mulai menyumpit dan mengambil masakan- masakan pesanan Giok Lam. Pemuda tampan ini girang sekali dan mereka lalu makan minum sambil bercakap-cakap dengan gembira, makin akrab saja hubungan mereka yang baru beberapa puluh menit itu. Makin kagum dan suka lagi hati Kwan Bu ketika pengaruh arak membuat Giok Lam bersajak dan ternyata dalam hal ilmu kesusasteraan, pemuda tampan itu memiliki pengertian yang tidak rendah!

“Wah, Lam-te benar-benar seorang bu-cwan-jai (orang pandai sastera dan silat) yang patut dikagumi membuat aku taluk benar!” kata Kwan Bu setulusnya hati. Alangkah besar bedanya pemuda ini dengan Liu Kong, bahkan jauh lebih tampan dan menyenangkan daripada Kwee Cin. Dan yang membuat ia terheran-heran adalah betapa pemuda tampan ini sekaligus telah merampas rasa sukanya dan ia seakan-akan telah mengenalnya lama sekali. Wajah tampan ini serasa bukan wajah asing baginya, seperti telah sering dijumpainya, akan tetapi hal itu sungguh tidak mungkin!

“Aaahh, Bu-twako terlalu memuji. Jangan sampai aku akan terapung tinggi oleh pujian twako. Siapa tidak tahu bahwa twakolah yang merupakan seorang hiapkek (pendekar) tersembunyi yang hebat? Oh, ya, setelah kita menjadi sahabat baik, bolehkah aku mengetahui twako ini datang dari mana dan ada keperluan apakah di kota ini? Di mana pula menginapnya?”

“Aku baru saja datang dan kebetulan saja dalam perantauan melewati kota ini. Belum mencari tempat menginp karena biasanya aku pun menginap di mana saja, di kuil-kuil, di rumah kosong, kalau terpaksa di kolong jembatan pun jadilah!”

“Ah, masa begitu? Aku bermalam di hotel Lok-sun marilah twako ke sana saja, biar kucarikan kamar sehingga kita dapat bercakap-cakap di sana.” Di dalam hatinya, Kwan Bu merasa amat suka dan cocok dengan kawan baru ini dan akan merasa senang sekali kalau tinggal di satu hotel sehingga dapat bercakap-cakap sepanjang malam. Akan tetapi ia mempunyai tugas penting, yaitu mencari musuh besarnya. Ia harus menyelidiki kuil di depan itu malam nanti, menyelidiki apakah hwesio ketua kuil itu musuh yang dicarinya apakah bukan. Maka ia lalu menjawab.

“Terima kasih, Lam-te. Akan tetapi aku mempunyai urusan yang amat penting dan hari ini juga aku sudah akan meninggalkan kota ini.” “Kalau begitu, sebaiknya kita melakukan perjalanan bersama, twako! Kemanakah twako hendak pergi? Akan kubeli seekor kuda lagi untukmu dan kita dapat melakukan perantauan bersama! Bukankah menyenangkan sekali itu?”

“Maaf, maaf, dan terima kasih atas budi baikmu. Sungguh, urusanku ini adalah urusan pribadi yang amat penting sehingga tidak mungkin aku berani mengganggumu. Biarlah aku berjanji, kelak kalau sudah selesai urusanku, aku akan mencarimu dan berkunjung ke rumahmu, Lam-te.” Akan tetapi pemuda tampan itu kelihatan kecewa sekali, bahkan kelihatan marah! Muka yang tampan itu menjadi merah dan mata yang tajam itu membayangkan sinar kemarahan hatinya.

“Ah, twako tidak percaya kepadaku, apakah ini tanda persahabatan yang erat? Beritahu saja apa urusan itu, kalau memerlukan bantuan tenaga, sedikitnya aku bukan seorang lemah!” Kwan Bu menggeleng kepala.

“Maaf, urusan pribadi tak mungkin diberitahukan orang lain. Harap Lam-te sudi memaklumi dan memaafkan.” Giok Lam dengan nada marah sudah memanggil pelayan. Setelah pengurus datang dan membuat perhitungan, dia mengeluarkan beberapa keeping uang perak dari buntalannya, melempar uang itu ke atas meja sambil berkata,

“Hitung semua dengan tuan ini, lebihnya boleh berikan pelayan yang tadi melayani kami!” Si pengurus terbongkok-bongkok menerima uang itu dan si pelayan terbongkok-bongkok berterima kasih. Akan tetapi Giok Lam tidak perdulikan akan itu semua dan ia sudah bangkit berdiri sambil menggendong buntalannya.

“Bu-twako, selamat tinggal, mudah-mudahan urusanmu akan berhasil!” Tidak enak rasa hati Kwan Bu. Ia tahu bahwa dipandang sepintas lalu, ia telah bersikap keterlaluan, menolak penawaran dari seorang sahabat yang begitu tulus ikhlas menawarkan bantuan dan yang telah sedemikian ramah dan baik terhadapnya. Iapun berdiri dan menjura.

“Lam-te, selamat berpisah sampai bertemu kembali. Dan sekali lagi terima kasih dan maaf.”

Akan tetapi Giok Lam sudah membalikkan tubuh, dengan langkah gesit telah keluar dari restoran, diikuti pandang mata Kwan Bu yang menghela napas panjang. Kwan Bu duduk kembali dan termenung, selama hidupnya, belum pernah ada orang bersikap baik terhadap dirinya. Kecuali gurunya dan ibunya. Akan tetapi gurunya kadang-kadang acuh tak acuh, sikapnya memang aneh dan tak suka beramah tamah . ibunya seringkali urung dan berduka karena mengandung dendam dan sakit hati yang belum terbalas. Belum pernah ada seorang sahabat yang baik terhadap dirinya. Orang-orang muda yang dahulu berada di rumah Bu Keng Liong, memandang rendah kepadanya, bahkan Liu Kong dan Bu Siang Hwi pernah menghinanya Kwee Cin yang pada dasarnya ramah dan halus, juga terbawa-bawa dan tidak dapat menjadi sahabat baiknya, mengingat bahwa dia hanyalah seorang bujang di rumah keluarga Bu itu.

Kini mulai muncul seorang pemuda yang begitu tampan pandai sastera dan silat, baru bertemu satu kali saja sudah memperlihatkan keramahan yang luar biasa. Tentu saja hatinya tertarik sekali dan ia merasa menyesal tidak menerima uluran tangan Giok Lam karena tugasnya yang amat penting malam ini. Karena niatnya mengintai kuil di depan tadi terganggu oleh kehadiran Giok Lam, maka kini Kwan Bu keluar dari restoran dan sengaja memasuki kuil itu yang di ruangan depannya bertuliskan tiga buah huruf indah dan besar Ban Lok Tang. Tidak begitu banyak lagi tamu sekarang, sebagian besar sudah pulang. Ketika Kwan Bu memasuki ruangan depan dan melihat-lihat ia mendapat kenyataan bahwa kuil ini benar mewah. Sutera-sutera halus beraneka warna tergantung di ruangan dalam. Agaknya banyak sekali orang yang menerima sumbangan, berarti dianggap cukup “manjur”, baik dalam memberi obat, meramal, atau memberi petunjuk terutama sekali dalam hal mencari keuntungan. Ia melihat dua orang hwesio yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, melayani para tamu yang minta sesuatu sambil bersembahyang dan melihat dengan pandang matanya yang terlatih betapa kedua hweio tua itu memiliki tenaga tersembunyi, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat. Selaindua orang hwesio tua ini, ada pula seorang hwesio cilik, paling tua empat belas tahun usianya, bertugas sebagai pelayan di sebelah depan dan juga sebagai tukang yang mendaftar para tamu baru agaknya. Buktinya, begitu melihat Kwan Bu, hwesio cilik ini cepat-cepat maju menyambut dan berkata.

“Tuan tentu seorang tamu yang baru pertama kali datang ke kuil kami, bukan? Sebagai tamu baru, harap tuan suka mengambil “ciam” sebagai perkenalan dan agar tuan dapat membuktikan sendiri betapa mahsyurnya kuil kami dan betapa tepatnya ramalannya!” Kwan Bu tersenyum. Semenjak kecil ia sudah terdidik untuk menghormati kuil. Bahkan ia terlahir dalam sebuah kuil Kwan-im-bio di luar kota Kwi-cun dan ia sudah yakin bahwa sebuah kuil adalah sebuah tempat yang suci di mana para pendeta berdoa untuk keselamatan umat manusia. Maka terhadap kuil Ban-lok-tang inipun ia menaruh hormat dan yang akan dia selidiki bukanlah kuilnya, melainkan ketuanya yang menurut keterangan Kwa piauwsu adalah seorang yang mempunyai ciri-ciri seperti musuh besarnya, bahkan katanya seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul).

Kini mendengar permintaan hwesio cilik, ia mengangguk dan mengikuti hwesio ini memasuki ruangan samping dan si mana terdapat meja sembahyang. Kwan Bu diharuskan membeli perabot- perabot sembahyang, kemudian dilayani hwesio itu ia bersembahyang memberi hormat dan minta perkenan “dewa penjaga” untuk memasuki kuil. Selain bersembahyang, atas desakan hwesio cilik, Kwan Bu mengocok bambu tempat “ciam” dan begitu keluar nomornya dan ia menerima sehelai kertas bertuliskan tangan dan membacanya, ia memandang dengan mata terbelalak. Apakah isi tulisan itu? Tulisan tangan yang cukup indah dan bunyinya demikian. Nama anda Bhe Kwan Bu. Kalau anda bisa bersahabat dengan seorang yang bernama Lam, barulah anda akan berbahagia. Kwan Bu yang terheran-heran itu mendengar si hwesio cilik tertawa.

“Tentu tuan terheran, bukan? Semua tamu juga pada pertama kali terheran-heran karena mereka semua dikenal oleh toa pekkong kami. karena itu, tuan tidak perlu ragu-ragu lagi untuk memohon sesuatu, karena tidak ada kuil yang lebih jitu dan manjur daripada kuil Ban-lok-tang.” Kwan Bu bukanlah seorang yang begitu saja mudah percaya akan segala macam tahyul.

la percaya kan kesucian kuil sebagai tempat sembahyang, akan tetapi keanehan seperti ini benar- benar membuat ia berpikir. Bagaimana namanya dapat dikenal? Satu-satunya orang yang mengenal namanya adalah Giok Lam! Apakah ini permainan pemuda tampan itu? Apakah Giok Lam yang bersembunyi dalam kuil dan diam-diam menulis surat itu atau memberi tahu kepada hwesio yang bertugas menulis ciam? Atau ada rahasia apakah dibalik semua ini? Hatinya menjadi tidak enak dan ia tidak mau lama-lama berada di situ. Malam nanti ia akan mencari jawaban semua ini. Dari kuil itu Kwan Bu, lalu pergi keluar kota dan bersembunyi di luar kota sambil mengenangkan Giok Lam. Sukar baginya untuk melupakan sahabat barunya itu. Betapa akan senangnya kalau sekarang ia dapat bercakap-cakap dengan sahabat itu.

“Ahh, betapa mungkin kita bersahabat, pikirnya sambil menarik napas panjang. Jelas bahwa dia seorang kaya, bahkan mungkin seorang putera bangsawan. Sedangkan aku apa? Bekas bujang dan....

dan...... seorang anak haram!” Berpikir sampai di sini, dadanya terasa perih dan dia mengusir bayangan Giok Lam sebagai sahabat, lalu bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga yang mungkin malam ini harus ia kerahkan untuk menghadapi lawan berat. Setelah hari larut malam, Kwan Bu meninggalkan tempat itu memasuki kota dengan jalan melompati tembok kota yang tidak begitu tinggi. Ia terus melakukan perjalanan melewati wuwungan rumah- rumah itu, tidak ada yang mendengar jejak kakinya yang seperti kaki seekor kucing saja. Berbeda dengan keadaan waktu siangnya yang amat ramai, kini kuil itu sunyi sekali. Sunyi seperti kuburan, juga penerangannya di bagian suram muram, hanya diterangi sebuah lampu teng bergantung di sudut kelenteng. Ruangan depan kelihatan hitam gelap meyeramkan, hanya diterangi kelap-kelip dupa sisa siang tadi di atas tempat abu. Juga restoran di depan kuil telah tutup dan keadaan di jalan itu sunyi senyap. Mengapa demikian? Hal ini berhubungan dengan kuil itu dan dengan kepercayaan akan tahyul yang sudah mendalam di hati penduduk kota Sian-hu.

Karena “manjurnya” kuil Ban-lok-tang, lalu dikabarkan bahwa jika hari terganti malam, kuil itu menjadi tempat pertemuan para dewa yang menerima pelaporan para jin dan setan, juga di situ setan-setan dan roh-roh berkeliaran yang melakukan kesalahan-kesalahan menerima hukuman! Cerita inilah yang membuat penduduk kota tidak ada yang berani lewat jalan di waktu malam, lebih baik mereka mengambil jalan memutar yang lebih jauh dari pada harus lewat di depan kuil, karena menurut desas-desus, ada bahayanya bertemu setan dan roh yang gentayangan di depan kuil yaitu setan dan roh yang akan dijatuhi hukuman di situ, kemudian menyeret manusia untuk menemani mereka menerima hukuman! Bahkan ada desas-desus mereka yang bersumpah telah mendengar jerit tangis wanita di dalam kuil, tanda bahwa setan-setan perempuan menerima hukuman!

Pendeknya, kuil yang waktu siangnya amat ramai dikunjungi orang untuk dimintai berkahnya, di waktu malam berubah menjadi tempat angker menakutkan! Kwan Bu mendekam di atas wuwungan tertinggi dari kuil itu. Dari tempat tinggi ini, ia dapat melihat bagian bawah agak luas, sampai jalan depan kuil itu pun tampak remang-remang di kegelapan malam. Dua ekor kelelawar berterbangan dan hampir menyerempet kepalanya. Diam-diam Kwan Bu menyumpahi dua ekor binatang itu yang kini terbang jauh. Binatang malam mengerikan itupun agaknya membantu si penghuni kuil, pikirnya. Dengan pandang matanya ia melihat betapa seekor dari kelelawar itu menyambar ke kiri dan tiba- tiba saja... ”plak!” binatang itu terbanting di atas genteng dan tak bergerak lagi.

Kwan Bu tersenyum geli juga kagum dan heran menduga-duga siapa gerangan orang yang mendekam di sebelah kiri itu yang terganggu kelelawar dan membunuh binatang itu. Kiranya bukan dia seorang saja yang mengintai dan menyelidiki keadaan kuil Ban-Iok-tang. Pencurikah Orang di sebelah kiri itu? Dia dan orang itu sebetulnya tidak saling melihat dan hanya karena orang itu membunuh kelelawar maka ia dapat mengetahui tempat persembunyiannya. Ia merasa yakin bahwa orang itu belum tahu akan kehadirannya di situ. Perhatiannya tertarik oleh gerakan dua orang jalan di depan kuil. Mereka itu adalah dua orang yang keluar dari pintu restoran yang segera ditutup kembali. Mereka membawa sebuah peti dan memasuki pintu kuil, terus ke ruangan depan, disambut oleh seorang hwesib yang bukan lain adalah hwesib cilik yang siang tadi menyambut Kwan Bu.

“lni uang pendapatan hari tadi, dan ini daftar tamu baru yang mungkin besok pagi akan mengunjungi kuil,” terdengar seorang diantara mereka berkata.

“Tolong sampaikan kepada losuhu bahwa sore tadi ada seorang wanita muda yang bertanya-tanya menyelidiki kuil. Dia berpakaian serba hijau dan membawa-bawa pedang di punggungnya. kami tidak berhasil memancing apa maksudnya dan siapa namanya. Harap kalian berhati-hati dan agar losuhu tahu sebelumnya.” Suara hwesio cilik itu mengejek dan memandang rendah.

“Cantikkah perempuan muda itu?” “Cantik dan kelihatan gagah perkasa, jelas seorang yang biasa melakukan perjalanan di dunia kang- ouw”

Posting Komentar