Bu Kek Siansu Chapter 39

NIC

"Aku harus pergi ke sana!"

Dara itu berkeras. Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sukar benar melayani sumoinya ini yang memiliki watak aneh dan hati yang keras sepeti baja.

"Aku hanya mau pergi ke Pulau Neraka kalau untuk mencari ibu, akan tetapi kalau kita pergi ke sana hanya untuk mencari perkara, aku tidak mau. Kau harus berjanji tidak akan membuat kekacauan di sana, sumoi."

"Hemmm, agaknya kau berkeinginan keras untuk menjadi sahabat baik Pulau Neraka, ya? Karena ada...."

"Sumoi, harap jangan bicara yang tidak-tidak. Memang kita sahabat baik mereka! Lupakah kau ketika mereka mengantar kita ketika meninggalkan pulau itu? Karena itu, aku hanya mau pergi ke sana kalau untuk mencari ibumu dan menjenguk mereka sebagai sahabat, melihat keadaan mereka setelah ada badai mengamuk."

Swat Hong cemberut, akan tetapi menjawab juga.

"Baiklah, kita lihat saja nanti."

Dan mereka lalu mendayung perahu dengan cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan tetapi, setelah mereka tiba di daerah Pulau Neraka, mereka menjadi bingung dan pangling karena di daerah itu telah terjadi perubahan hebat sekali. Mungkin karena akibat badai yang mengamuk, yang ternyata mengambil daerah yang amat luas itu, di sekitar situ telah muncul gunung-gunung es yang anat besar sehingga Pulau Neraka yang biasanya tampak dari jauh sebagai raksasa yang tidur itu kini tidak kelihatan lagi.

Karena semua jurusan terhalang pandangannya oleh gunung-gunung es. Mereka mendayung perahu berputar namun tidak dapat keluar dari kurungan gunung-gunung es itu.

"Ahhh, dahulu tidak ada gunung-gunung es besar seperti ini,"

Kata Swat Hong.

"Ini tentu diakibatkan oleh badai itu, Sumoi. Biar-lah kita mengaso dulu dan aku akan mencoba melihat keadaan dari puncak sebuah gunung. Kau tunggu saja di sini."

Perahu itu menempel pada sebuah bukit es yang tinggi dan Sin Liong meloncat ke daratan es.

Kemudian dia menggunakan ilmunya berlari cepat, mendaki gunung es itu untuk melihat dan mengenali daerah itu dari atas puncaknya yang tinggi. Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras sekali yang mengguncangkan seluruh gunung es itu. Sin Liong terkejut dan dengan cepat dia menoleh untuk melihat apa yang mengeluarkan suara seperti itu. Dari jauh tampak olehnya seekor beruang besar sedang menggerakkan kedua kaki depanya ke arah burung-burung yang menyambar-nyambar di atasnya.

Burung-burung nazar (burung botak pemakan bangkai) yang besar-besar beterbangan di atas beruang itu dan menyerangnya dari atas sambil mengeluarkan suara pekik mengerikan. Melihat ini, Sin Liong cepat berlari mendekati. Ternyata beruang itu terluka parah juga di beberapa bagian anggauta badannya, sedangkan di bawah kakinya tampak bangkai seekor ular laut yang besar. Jelaslah bahwa beruang itu tadi berkelahi dengan ular laut itu dan dia menang, akan tetapi dia menderita luka-luka dan burung-burung nazar yang kelaparan itu kini hedak mengeroyoknya dan tentu saja ingin makan bangkai ular besar. Sin Liong segera menggunakan salju yang digenggam untuk menyambiti burung-burung itu.

Terdengar suara plak-plok-plak-plok disusul suara burung-burung nazar berkaok-kaok kesakitan dan mereka terbang ketakutan menjauhi tempat itu karena setiap kali terkena sambitan salju, terasa nyeri sekali. Dengan beberapa loncatan saja Sin Liong sudah tiba di depan beruang itu. Beruang yang berkulit hitam dan amat besar itu menyeringai dan mengerang, memperlihatkan gigi bertaring yang amat runcing kuat dan lidah yang merah. Matanya terbelalak penuh kecurigaan dan kemarahan kepada Sin Liong.

"Tenanglah, aku datang untuk menolongmu,"

Kata Sin Liong sambil maju lebih dekat.

"Auughh..!"

Beruang itu menggerang dan kaki depan yang kiri menyambar kearah dada Sin Liong. Melihat betapa telapak kaki itu berdarah, Sin Liong mengelak dan cepat menangkap pergelangan kaki depan itu.

Kiranya telapak kaki itu tertusuk tulang dan masuk amat dalam. Agaknya dalam perkelahian melawan ular laut, beruang itu mencengkram tubuh ular dan sedemikian kuatnya dia mencengkeram sampai tulang punggung ular patah dan menusuk ke dalam daging di telapak kaki depan itu, Sin Liong segera mencabut tulang itu. Darah mengucur deras dan dia segera membalut dengan saputangannya. Beruang itu kini tidak marah lagi. Agaknya dia cerdik dan dapat mengerti bahwa orang yang datang ini bukan musuh, bahkan menolongnya. Kaki depan yang terluka itu kini tidak nyeri lagi dan tentu saja, karena yang membuat dia tersiksa rasa nyeri tadi adalah karena tulang yang menancap itu.

"Coba kuperiksa, apa lagi yang perlu kuobati,"

Sin Liong berkata dan dia memeriksa luka-luka di tubuh beruang itu. Ada sebuah luka di tengkuk yang membengkak. Tahulah Sin Liong bahwa luka ini cukup berbahaya, kalau tidak lekas diberi obat yang cocok akan dapat membahayakan nyawa beruang itu.

"Hemmm, aku harus mencarikan daun obat untuk luka-lukamu,"

Katanya, lupa bahwa beruang itu tentu saja tidak mengerti apa yang dia katakan.

"Hai, Suheng, ada apakah?"

Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas. Sin Liong menoleh dan melihat Sumoinya turun berlari-lari cepat sekali. Setelah dekat, beruang itu menggerang dan memandang Swat Hong dengan marah.

"Huh, binatang buruk!"

Swat Hong memaki.

"Dia terluka cukup berat, akan tetapi dia menang berkelahi melawan ular laut itu. Lihat, betapa besarnya ular itu, Sumoi. Beruang itu kuat sekali. Aku harus mengobatinya sampai sembuh."

Swat Hong mengerutkan alisnya,

"Perlu apa menolong binatang buas seperti itu, Suheng? Membuang-buang waktu saja."

"Dia tidak buas lagi, sumoi. lihat betapa jinaknya. Dia pun mahluk hidup yang perlu kita tolong. Aku merasa kasihan kepadanya,sumoi."

"Wah, kau lebih mementingkan dia..."

"Hei..., ada apa engkau...?"

Tiba-tiba Sin Liong berteriak melihat beruang itu menggereng-gereng dan menarik-narik tangannya, seolah-olah hendak mengajak Sin Liong pergi dari situ! Beruang itu makin keras menggereng dan makin kuat menariknya. Diam-diam Sin Liong kagum bukan main. Tenaga beruang ini luar biasa besarnya, dan kiranya dia hanya akan dapat menandingi tenaga raksasa ini kalau dia menggerakan sinkang sekuatnya! Akan tetapi tiba-tiba dia mendapat firasat tidak baik melihat sikap beruang itu, maka disambarnya tangan sumoinya dan dia berteriak.

"Awas, sumoi. Mari pergi, dia menghendaki demikian, entah mengapa?"

Sin Liong memegang erat-erat lengan sumoinya dan membiarkan dirinya diseret oleh beruang itu. Binatang itu mengajaknya setengah paksa berlompatan dan berlarian ke gunung es yang lain yang berdekatan. Baru saja mereka melompat ke atas gunung es lain itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan gunung es dimana mereka berada tadi telah pecah berantakan menjadi keping-keping kecil. Kiranya gunung es itu ditabrak oleh gunung es yang lain dan hal ini agaknya telah diketahui oleh si Beruang tanpa melihat datangnya gunung es yang tak tampak dari situ. Ternyata binatang itu hanya diperingatkan oleh nalurinya yang tidak ada pada manusia! Sin Liong berdiri dengan muka pucat, kemudian dia merangkul beruang itu.

"Terima kasih, kakak beruang. Kiranya engkau malah menyelamatkan kami berdua."

Akan tetapi Swat Hong merasa tidak senang.

"Suheng, mari kita segera pergi dari sini. Tempat ini amat berbahaya. Lihat, gunung es tadi hancur dan itu kelihatan dari sini perahu kita. Untung tidak hilang. Marilah, suheng."

"Nanti dulu, sumoi. Aku harus mencarikan daun obat untuk mengobati luka-luka di tubuh beruang ini."

"Ah, perlu apa? Kita bisa celaka di sini..."

"Sumoi, dia telah menyelamatkan nyawa kita!"

"Hemm, begitukah? Engkau pun tadi telah menyelamatkan nyawanya ketika kau mengusir burung-burung nazar itu, bukan? Aku melihat dari jauh. Berarti sudah terbalas semua budi, bukan Marilah, Suheng."

"Tidak, sumoi. Kita tinggal di sini dulu sampai aku selesai mengobatinya."

Swat Hong menjadi marah.

"Agaknya kau lebih sayang beruang betina ini dari pada aku!"

"Sumoi...!"

Akan tetapi Swat Hong sudah berlari pergi, berloncatan di atas pecahan es dan menuju ke perahu mereka, meloncat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu pergi dari situ! Sin Liong menjadi bingung dan hampir membuka mulut menegur, akan tetapi karena maklum bahwa hal itu percuma saja, dia membatalkan niatnya.

Posting Komentar