Wie Kie-hong membalikkan kepala kembali menatap Boh Tan-ping.
"Aku tanya sekali lagi.
dimana ayahku?" "Aku tidak tahu" Mendadak Wie Kie-hong memburu kedepan.
Boh Tan-ping terpojok.
Dia sudah tidak dapat lari kemana-mana lagi.
Pisau Wie Kie-hong segera meluncur mengarah muka Boh Tan-ping.
Boh Tan-ping mengelak serangan dengan mencondongkan kepalanya ke kanan.
Wie Kie-hong menyabetkan pisaunya ke arah kanan, bermaksud terus memburu Boh Tan-ping.
Boh Tan-ping menunduk dan segera berguling-guling menjauh.
Sekali lagi Boh Tan-ping terpojok.
Dia berdiri membelakangi dinding.
Dia bergumam tidak jelas, tampaknya dia dongkol dan mengumpat mengapa ruangan tempat tinggal Paman Tan sangat sempit.
Wie Kie-hong menendang tembok dan melun-cur menuju Boh Tan-ping.
Boh Tan-ping segera mengayunkan pedang gigi gergajinya ke arah Wie Kie-hong.
Untung Wie Kie-hong masih dapat menahan Lajunya.
Pedang gigi gergaji menancap lemari.
Wie Kie-hong segera menyabetkan pisaunya ke pegangan pedang.
Dia bermaksud menebas tangan Boh Tan-ping.
Segera Boh Tan-ping melepaskan pedangnya.
Wie Kie-hong memanfaatkan kesempatan ini untuk menekan Boh Tan-ping.
Sekali lagi Boh Tan-ping terdesak di pojok ruangan.
Kali ini Wie Kie-hong sungguh sudah membuatnya tidak berdaya.
"Katakan! dimana ayahku berada?" "Aku tidak tahu" Wie Kie-hong menatap matanya dalam-dalam.
Boh Tan-ping tahu kalau tidak bicara, Wie Kie-hong sungguh akan melukainya.
Wie Kie-hong menarik nafas dalam-dalam Dia segera mengayunkan pisaunya ke arah leher Boh Tanping.
"Tunggu!!" Pisau Wie Kie-hong berhenti tepat ketika ujung pisau yang tajam menyentuh lehernya.
Wie Kie-hong menunggu Boh Tan-ping meneruskan katakatanya.
Boh Tan-ping menelan ludah.
Setelah beberapa saat, dia melanjutkan kata-katanya, "Wie Kie-hong, apakah kau ingin menjumpai ayahmu?" "Tentu saja" "Pergilah ke gang San-poa" "Apakah saat ini dia ada di gang San-poa?" "Ya.
Dia ada di dalam rumah kediaman Bu Tiat-cui" "Untuk apa ayahku ada disana" bukankah tadi kau bilang Thiat-yan dan Cu Siau-thian juga ada disana?" "Tidak salah.
Ketika aku meninggalkan rumah Bu Tiat-cui sebelum kemari, ayahmu sedang berbaring.
Dia terluka parah, dia terus menerus mengeluarkan darah segar.
Kalau kau cepat kesana, mungkin kau masih sempat mengantar kepergiannya" "Siapa yang sudah membunuhnya?" "Thiat-yan" Mendadak emosi Wie Kie-hong meledak.
Dia mengamuk seperti orang gila.
Tanpa memperdulikan apa-apa lagi, Wie Kie-hong segera melepaskan Boh Tan-ping.
dia lalu berlari keluar.
Boh Tan-ping tidak berkata apa-apa.
Dia hanya melihat kepergian Wie Kie-hong dalam diam.
0-0-0
Tu Liong terus berlari menyusuri gelapnya malam.
Tan Pohai mencoba mengimbangi kecepatan larinya tanpa banyak hasil.
Nafasnya sudah memburu hebat bagaikan seekor kerbau Tan Po-hai berusaha memanggilnya "Saudara Tu Liong, tolong jangan terlalu cepat" Akhirnya Tu Liong mengurangi kecepatan larinya, tidak jauh berlari akhirnya mereka berhenti.
Tan Po-hai hanya bisa berdiri membungkuk mengejar nafasnya.
Setelah nafasnya mulai teratur, Tan Po-hai bertanya: "Saudara Tu Liong, kau hendak pergi kemana?" "Aku bermaksud pergi menemui Cu Siau-thian di kediaman Bu Tiat-cui" "Aku tidak yakin aku kuat mengikutimu lari kesana" Tu Liong menimbang-nimbang keadaan ini.
setelah beberapa lama, Tu Liong berkata padanya, "Paman Tan, sebaiknya kau pergi mencari kereta kuda untuk mengantarkanmu ke kediaman Leng Taiya dan menunggu Wie Kie-hong.
Setidaknya paman aman berada disana.
nanti kita akan bertemu lagi.
aku hanya khawatir Cu Siau-thian diamdiam sudah mengutus seseorang mengikuti anda.
Kalau demikian, rasanya anda malah lebih celaka" Tan Po-hai memang orang yang sungguh besar hati.
dia hanya berkata singkat "Hidup mati sudah ada jodohnya.
Kaya miskin juga sudah diatur langit.
Kalau memang aku sudah ditakdirkan mati, bgaimanapun juga aku tidak dapat melarikan diri, aku khawatir masalah di dalam rumah Bu Tiat-cui bisa menjadi runyam.
Kalau aku berada disisimu, aku khawatir aku hanya akan menyusahkan kalian." "Paman Tan, kau harus berhati-hati.
setelah nanti sampai ke kediaman Leng Taiya, jangan pergi kemana-mana lagi." Akhirnya mereka berdua menghentikan sebuah kereta kuda yang lewat, Tu Liong mengantar Tan Po-hai naik kereta, dan memandang kereta pergi menjauh.
Setelah kereta hilang dari pandangan, Tu Liong melanjutkan larinya ke gang San-poa.
Angin malam berdesir lembut, cahaya rembulan yang tertutup awan perlahan-lahan kembali menyinari jalan yang sedang ditempuhnya.
Mendadak dari kejauhan dia melihat bayangan berwarna putih.
Pertama dia pikir dia sudah salah melihat.
Apakah dia sedang melihat hantu" Tu Liong menegadah melihat langit.
Memang bulan sedang purnama.
Dia pernah mendengar, katanya ketika sedang bulan purnama atau bulan sedang gelap, banyak kejadian kejadian mistis yang sering terjadi.
Tapi dia yakin dia tidak sedang salah lihat, dia terus berlari mendekati bayangan putih itu.
Dalam hatinya dia merasa sedikit seram juga, namun setelah sangat dekat, hatinya kembali merasa tenang.
Ternyata memang bukan sosok hantu.
Itu adalah seorang calon nikoh berkepala gundul.
Memang Hai Ceng yang biasa dikenakan para calon nikoh selalu berwarna putih atau hitam.
Tu Liong bersyukur nikoh ini tidak mengena-kan yang berwarna hitam.
Melihat Tu Liong berlari mendekat, dia menempelkan kedua telapak tangan dan membungkuk menyapa dengan ramah.
"Omitohud..." Tu Liong merasa kikuk juga.
Namun dia tahu tata krama untuk menyapa para nikoh seperti ini.
Dia mengikuti apa yang dikerjakan nikoh itu.
"Omitohud...
nikoh datang jauh-jauh ketempat seperti ini ditengah malam begini ada urusan apa?" "Apakah Tuan muda tahu dimana aku bisa menjumpai Cu Siau-thian?"
0-0-0
Dalam gelap malam, Wie Kie-hong terus berlari bagaikan orang kesurupan.
Didalam kepalanya berseliweran berbagai macam pikiran, dugaan dan pertanyaan.
Air mata terus berderai turun.
Dia sudah jenuh merasa bingung dengan semua pertanyaan dan tipuan.
Tampaknya tidak ada satupun urusan yang sungguh masuk logikanya.
Mendadak dia mendapat satu ingatan.
Orang yang ditemui di dalam kediaman Bu Tiat-cui, yang bersuara serak dan beralis putih...
apakah orang itu adalah ayahnya" Rasanya dia sudah beberapa kali mendengar suara seraknya.
Rasanya dia adalah orang yang berbisik pada dirinya didalam kamarnya ketika jendela kamar tidur mendiang ayah tirinya didongkel orang.
Suara yang sama yang sudah menyapanya didalam perjalanannya menyerahkan payung kertas pada nona Thiatyan.
Mengapa dia tidak memikirkan hal ini ketika dia sedang berhadapan dengannya" "Mana mungkin aku bisa terpikirkan kalau ayahnya mendadak muncul dihadapannya?" katanya pada diri sendiri.
UGH! Kalau memang demikian, dia sudah melewatkan sebuah kesempatan besar.
Kesempatan besar yang menjadi sebuah tragedi besar.
Memikirkan bahwa ayahnya sekarang mungkin sudah tiada karena kebodohannya, Wie Kie-hong semakin menggila.
Dia mempercepat larinya sampai pinggangnya terasa linu.
Dia tidak memperdulikan nafasnya yang memburu.
Tujuan larinya tidak lain adalah kediaman Bu Tiat-cui.
Malam semakin larut, suasana pun sangat sunyi.
Suasana dalam gang San-poa juga sama heningnya dengan tempattempat lainnya.
Tidak terasa hawa pembunuhan sama sekali.
Pintu masuk depan taman Bu Tiat-cui setengah terbuka.
Tapi didalamnya tidak terdengar suara apa-apa.
Wie Kie-hong menunggu sampai nafasnya kembali normal.
Barulah dia berani melangkahkan kaki masuk kedalam.
Lampu-lampu didalam rumah sudah dinya-lakan, namun dia tidak menjumpai seorang pun.
Tirai yang menutup pintu masuk ruang samping separuh tersibak membuka.
Mayat Bu Tiat-cui masih terbujur kaku di tempat dia meninggalkannya tadi.
Ternyata selain mayat itu masih ada orang lain yang sedang duduk di bangku yang biasa diduduki oleh Bu Tiat-cui.
Dia duduk bersandar, kepalanya tertegadah kebelakang.
Tangan kanannya memegang dada.
Darah segar belepotan membasahi tangannya.
Wie Kie-hong berusaha melihatnya dengan lebih teliti.
Ternyata orang ini masih bernafas walau sangat perlahanlahan.
Wie Kie-hong ingin segera masuk.
Namun dia tiba-tiba teringat Tu toako.
Dia selalu berhati hati.
kalau misalnya dia sedang ada bersamanya, dia pasti akan menarik bahunya.
Dia akan memperingatkannya agar lebih waspada.
Karena itu Wie Kie-hong meneliti ke empat penjuru ruangan sampai jelas, setelah itu dia segera berjalan mendekati orang yang terluka ini.
Kepala Wie Kie-hong sudah terasa sangat panas.
Dia bagaikan semut didalam kuali.
Dia mempelajari raut muka orang yang terluka ini.