Hanya terdengar kata katanya bergumam perlahan dan terdengar serak.
"Wie Kie-hong, aku tidak bermaksud untuk melukaimu.
Jangan takut" Wie Kie-hong tidak berkata apa apa.
"Besok pagi-pagi sekali pergilah ke Sie-san" "Untuk apa?" "Tidak usah bertanya...
asalkan kau datang, kau pasti akan tahu" "Aku pasti akan pergi" "Aku tahu kau pasti akan pergi" "Tapi aku tidak mungkin pergi hanya karena seseorang sudah datang ke dalam kamarku dan menodongkan pisau di leherku dan memaksaku untuk pergi" "Aku tahu, pedang tidak mungkin bisa memaksa orang semacam dirimu untuk melakukan sesuatu.
Pedang ini hanyalah sebuah taktik.
Kalau tidak menggunakan pedang ini, kau pasti sudah berteriak dan merusak suasana" "Tidak masalah apapun yang kau katakan, yang pasti sekarang pedang ini sudah menempel di leherku.
Karena itu aku tidak mungkin pergi ke Sie-san.
Dan aku tidak mungkin menyetujui apapun yang kau minta.
Kalau kau menurunkan pedang ini, mungkin juga kita berdua bisa berbincang bincang." "Baiklah...
kau sangat pandai menahan perasaanmu.
Pedang ini tidak perlu melukai orang, jadi tidak perlu aku keluarkan" Pedang itu pun terlepas dari leher Tu Liong.
Dari asal suaranya, jelas terdengar kalau orang itu sedang berdiri dibelakang Wie Kie-hong, tapi Wie Kie-hong sama sekali tidak merasakan kehadiran siapapun.
"Wie Kie-hong, apakah besok pagi kau akan pergi ke Siesan ?"" "Kalau ada yang ingin kau bicarakan, bukankah sama saja kalau dibicarakan disini?" "Aku bukan ingin membicarakan sesuatu padamu........Wie Kie-hong, aku tidak mungkin membawamu ke Sie-san hanya untuk melukaimu.
Bagiku, kalau hanya untuk melukai seseorang, tidak perlu repot begitu" "Aku tidak mengerti mengapa aku tetap harus pergi ke Siesan..." "Kalau kau benar-benar ingin tahu, sekarang aku akan memberikan sedikit bocoran.
Ada seseorang yang ingin menemui dirimu.
Tempat dan waktu semuanya sudah ditentukan olehnya.
Sekarang ini sudah tidak mungkin dirubah.
Karena aku sama sekali tidak tahu dia tinggal dimana" Kata-kata orang itu bukan saja tidak berhasil memenuhi rasa ingin tahunya, malah sebaliknya Wie Kie-hong merasa semakin penasaran.
Dalam hatinya diam-diam dia memutuskan, besok pagi dia pasti akan pergi memenuhi janji pertemuan ini.
kalau memang ini adalah sebuah jebakan, dia tidak perduli.
"Apakah aku boleh menyalakan lampu?" "Aku sudah akan pergi" "Aku hanya ingin mengatakan kalau sebelum kau pergi aku ingin menyalakan lampu" "Mengapa?" "Aku ingin melihat dirimu.
Untuk berjaga jaga agar besok pagi saat aku pergi ke Sie-san dan tidak mengenali siapapun." "Aku mengenalimu saja juga sudah cukup" "Dan lagi aku juga ingin melihat pedangmu" "Oh...?" "Pedang itu terasa sangat dingin, aku yakin itu bukan pedang biasa.
Aku senang mendapatkan lawan yang unik, aku juga senang melihat alat perang yang antik" "Baiklah, kau nyalakan saja lampu itu" Wie Kie-hong segera menyalakan lampu.
Ketika lampu menyala terang, dia segera membalikkan tubuh untuk melihat orang itu.
Tapi ternyata dia sudah menghilang.
Wie Kie-hong sudah tertipu, tapi dia tidak merasa marah, kalau misalnya urusan ini dibalik dan dia menjadi penyerang, dia pun pasti akan melakukan hal yang sama.
Malah sebenarnya dia masih merasa bangga, orang itu tidak berani menunjukkan tujuan awalnya jelas-jelas karena takut pada dirinya.
Tapi tetap saja ada sebuah tanda tanya besar yang muncul di kepala Wie Kie-hong.
Apakah orang itu adalah orang yang sama yang tadi mendongkel jendela kamar Leng Souw-hiang" Apakah benar pedang yang digunakannya adalah pedang pusaka milik ayahnya" Siapakah yang akan muncul di Sie-san besok pagi untuk menemuinya" Mungkin kah orang itu adalah ayahnya" Ketika pertanyaan paling terakhir muncul di kepalanya, tidak ayal tubuhnya kembali bergetar hebat.
Dia hanya berharap ini bukan harapan kosong saja.
Malam itu dia sulit sekali tidur dengan pulas.
Sebentarsebentar dia terbangun dari tidurnya.
Tidak lama langit pun menjadi terang.
Wie Kie-hong segera mandi dan memper-siapkan diri.
Setelah itu dia segera meninggalkan kediaman Leng.
Dia berjalan terus sampai di mulut gang.
Ternyata karena hari masih pagi, tidak satu kereta pun terlihat melintas.
Karena itu dia terpaksa berjalan menuju Sie-san, berharap ditengah jalan dia akan menemui sebuah kereta yang akan membawanya kesana.
Dari kejauhan terlihat seseorang berjalan mendekat Ternyata ini adalah Thiat-yan Seperti dirinya, dia juga sedang berjalan perlahan lahan.
Tapi tidak benar.
Karena setelah melihat dirinya, dia langsung berkata kepadanya.
"Wie Kie-hong, aku tahu kau mau pergi kemana.
Tapi aku ingin memberimu sebuah peringatan, kau jangan melanjutkan perjalanan kesana" "Oh..." kau tahu aku mau pergi kemana" Benarkah?" "Tentu saja aku tahu" "Coba katakanlah agar aku dengar" "Kau mau pergi ke Sie-san untuk menemui seseorang yang belum pernah kau lihat sebelumnya.
Orang ini sudah membuat janji untuk bertemu kemarin malam.
Betul" "Dari mana kau dengar berita ini ?" "Kemarin malam aku tidak langsung pergi meninggalkan rumahmu.
Karena itu percakapan kalian didalam kamar sudah kudengar." "Nona, apakah kau senang mendengarkan rahasia orang lain?" Setelah kata-kata ini meluncur keluar dari mulutnya, Wie Kie-hong langsung tertegun.
Dia benar-benar tidak mengerti mengapa dirinya berkata seperti itu.
Thiat-yan juga tertegun, dia terlihat sedikit merasa malu, tapi dia tidak terlihat merasa marah, malah dia segera menjawab: "Kau sudah salah paham, waktu itu aku tetap tinggal disana bukan untuk mendengarkan rahasiamu, tapi karena ingin tahu siapa orang itu sebenarnya" "Apakah kau sudah melihatnya?" "Tentu saja sudah melihatnya" "Apakah kau mengenalinya" "Kenal" "Siapa?" "Walaupun aku memberitahumu, sepertinya itu tidak banyak gunanya, karena kau tidak pernah mengenal orang ini sebelumnya.
Namun walaupun kau belum pernah mendengarkan nama itu sebelumnya, aku tetap ingin memberitahumu satu hal....jangan pergi ke Sie-san!!!" "Mengapa?" Thiat-yan mengatakan jawabannya sepatah demi sepatah kata.
"Karena tempat itu sebuah perangkap yang sedang menunggu kau masuk kedalamnya" "Nona!" Wie Kie-hong berkata dingin "kecuali dirimu, aku tidak mempunyai musuh" "Aku juga bukan musuhmu...." "Baiklah ........nona! tolong kau jangan membuang-buang waktuku.
Aku tetap mau pergi ke Sie-san memenuhi janji" Thiat-yan melotot, mungkin karena Wie Kie-hong sama sekali tidak menghiraukan peringatannya, juga mungkin marah karena Wie Kie-hong sama sekali tidak menghargai keberadaannya.
Tidak masalah alasan yang mana pun, dia tetap tidak menunjuk-kannya didepan Wie Kie-hong.
"Kau benar-benar aneh !" Wie Kie-hong berkata padanya "kau adalah seorang musuh.
Kau sudah melukai tangan ayah angkatku.
Mengapa aku harus mendengarkan peringatanmu?" "Kau benar-benar sembrono.
Tapi tunggulah sampai di Siesan, kau pasti akan menyesal tidak mendengar saranku." "Aku bersedia menyesal" "Baiklah" nona Thiat-yan kembali berjalan pergi dengan cepat "bagaimanapun kau tidak ingin mendengarkan peringatanku.
Kau pergi saja ke Sie-san.
Orang yang arogan seperti dirimu, kalau tidak merasakan sendiri pahitnya kenyataan, selamanya kau tidak akan tahu betapa berbahayanya dunia persilatan." Wie Kie-hong tidak mengatakan apa apa barang sepatah katapun.
Dia hanya meneruskan perjalanan-nya, tanpa disengaja dia sudah membuat Thiat-yan merasa serba salah.
Dia hanya berpikir kalau dia terlalu baik memperlakukan Thiatyan, dia sudah meng-khianati ayah angkatnya.
Tidak lama dia menemukan sebuah kereta yang melintas.
Kebetulan kereta ini hendak berangkat menuju Sie-san.
Perjalanan ini tidak bisa dibilang perjalanan singkat.
Ketika tiba di tujuan, hari sudah menjelang sore.
Di daerah Sie-san ada banyak sekali orang yang berlalu lalang, dia tidak menentukan tempat bertemu yang pasti.
Menemui siapapun dia tidak tahu.
Wie Kie-hong hanya bisa berdiri di tempat yang terlihat jelas dan menunggu.
Pada akhirnya ada seseorang datang menemuinya.
Tentu saja Wie Kie-hong mengenal orang ini.
tapi dalam hatinya dia menduga bahwa orang ini mungkin adalah orang yang sudah membuat janji bertemu dengannya.
"Apakah anda adalah Wie Siauya?" Hiong-ki bertanya dengan sangat sopan.
"Betul" "Bagusnya kita pergi kesebelah sana untuk berbincangbincang..." Hiong-ki menunjuk sebuah tempat yang sepi.
Wie Kie-hong mengikutinya.
Wie Kie-hong terus menerus mencoba memperhatikan senjata yang dibawa oleh Hiong-ki, tapi dia tidak dapat menemukannya.
Sebuah pedang dapat dengan mudah disembunyikan.
Wie Kie-hong tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya.
Walaupun belum kenal, tapi dia merasa pernah melihat dirnya sebelumnya.
Dia lalu bertanya pada Hiong-ki: "Apakah kau orang yang kemarin malam?" "Kemarin malam?" "Kau sudah mendongkel jendela kamar tidur Leng Taiya, setelah itu..." "Kau sudah salah orang...." "Aku tidak mungkin salah.
Suaramu, postur tubuhmu, semuanya dikenal olehku.
Lagi pula kau sudah mengundangku datang kemari...." "Kie-hong, kemarin malam setelah langit gelap kita bertemu di pekarangan rumahmu.
Kita pun berbincang bincang sangat banyak disana.
Betul?" "Tentu saja aku ingat, kau sudah bicara tentang Tu toako.
Tapi setelah itu kau masih mencoba menye-linap masuk kedalam kamar majikanku...." "Kau sudah salah menebak.
Orang itu bukan diriku." "Kalau bukan dirimu, mengapa kau hari ini mengundangku datang kemari?" "Apa" Kau sedang menunggu seseorang?" "Betul.
Kalau tidak untuk apa aku berdiri disana seperti itu?" "Rupanya telah terjadi salah paham.
Benar-benar kesalah pahaman yang besar.
Aku melihatmu tanpa sengaja, karena kemarin malam kita sudah berbincang-bincang cukup lama, karena itu aku berpikir ingin bercakap-cakap lagi dengamu.
Pergilah! kita pergi jalan masing-masing, aku tidak ingin menunda urusanmu" Kejadian ini membuat Wie Kie-hong kebingungan.
Hiong-ki segera pergi, Wie Kie-hong tidak mencegahnya.
Walaupun Hiong-ki ingin memainkan sebuah siasat, Wie Kiehong tidak bisa melarangnya.
Tentu saja dia tidak bisa terus menunggu disana.
Segera dia pulang ke rumah kediaman Leng.
Setelah sampai dirumah, seseorang memberinya sebuah surat, setelah melihat-lihat amplop surat itu, dia bertanya: "Kapan surat ini dikirim?" "Baru saja belum lama" pembantu yang menyerahkan surat menjelaskan padanya.