"Sebenarnya pada dasarnya orang-orang yang melakukan pekerjaan seperti diriku adalah orang-orang yang bodoh." Tu Liong melepaskan genggaman tangannya dan segera berjalan keluar.
Kedua alis yang berwarna putih dan sepasang bola mata berwarna merah darah memburu kedepan: "Apakah hari ini tidak ada perintah untukku?" "Sudah tidak ada lagi" Tu Liong menyadari bisa melepaskan diri sepenuhnya dari Pembtmuh beralis putih adalah pekerjaan yang sangat sulit.
Oleh karena itu dia tidak berkata apa-apa lagi.
"Kalau begitu aku akan menemuimu lagi besok" Tu Liong pergi meninggalkan kedai teh Tong-ceng dengan kecepatan penuh.
Dia memacu kudanya secepat mungkin.
Sekarang dia sadar pada sesuatu hal lagi....
didalam sebuah rahasia masih terdapat sebuah rahasia.
Dia harus menenangkan diri dulu untuk menjernihkan pikirannya.
Dia harus menentukan arah tujuan penyelidikan ini.
dia tidak boleh menyeruduk secara serampangan.
Baru saja dia mencapai jalan besar, dia segera bertemu dengan Wie Kie-hong.
Tampaknya Wie Kie-hong baru saja datang mencari dirinya.
Tu Liong segera bertanya: "Kie-hong, apakah ada masalah?" "Tu toako, aku sudah menceritakan semuanya pada Leng Taiya, dia lalu memarahiku habis-habisan.
Terlebih lagi...
terlebih lagi...." "Apakah ada sesuatu yang tidak bisa kau katakan padaku?" "Untuk sementara ini Leng Taiya melarangku berhubungan denganmu" "Oh" Apakah dia tidak memberitahukan padamu apa alasan larangannya?" "Dia tidak berkata apa apa" "Semua orang punya pendirian sendiri, bagaimana keputusanmu?" "Tu toako, selama ini aku hanya mendengar kan perintah majikanku....terlebih lagi, rasanya aku pun tidak bisa banyak membantu dirimu...." Tu Liong tidak tega menatap Wie Kie-hong yang penuh rasa sesal, segera dia mengganti topik pembicaraan "Kie-hong, tadi aku menemui Thiat-yan." "Dimana?" "Tentu saja dirumah kediamannya" "Bagaimana penilaianmu terhadap dirinya?" "Tidak jelek" "Oh...?" Wie Kie-hong tertegun sesaat.
Tidak tahu bagaimana melanjutkan kata-katanya.
"Kie-hong! Kita berdua sama-sama terjepit, di satu sisi, mereka adalah sesepuh kita.
Mereka adalah majikan kita.
Disisi sebelah sana demi membalaskan dendam ayah yang dicelakai, dia ingin mencari barang peninggalan ayahnya.
Apakah ini adalah hal yang salah?" "Aku ingin mengutarakan apa yang sedang aku pikirkan.
Asalkan Leng Taiya tidak dilukai lagi, tidak mendapat shock, segalanya pun tidak aku perdulikan" "Sebenarnya pendirianmu dengan pendirian ku tidak jauh berbeda.
Asalkan Cu Taiya tidak mendapat celaka, apapun aku tidak perduli.
Masalahnya adalah.......
jika Thiat-yan menemukan barang yang sudah ditinggalkan ayahnya, maka akan ada orang yang ingin mencelakai dirinya, ini adalah hal yang sulit dihindarkan." "Tu toako, waktu ayahku pergi menjalankan perintah Leng Taiya, setelah pergi dia tidak pernah kembali lagi, belakangan barulah urusan ini diselidiki, apakah kau sudah tahu tentang hal ini?" "Sepertinya aku pernah mendengar kau mengatakan hal ini" "Thiat-yan pernah berkata bahwa dia tahu kejadian yang sesungguhnya terjadi" "Apakah dia sudah memberitahumu?" "Belum" "Kalau dia memang sudah mengetahuinya, mengapa dia tidak memberitahu padamu?" "Dia mengajukan sebuah syarat...." "Sebagai teman baik, aku ingin memberimu sebuah peringatan, terhadap orang yang memiliki karakter kuat seperti Thiat-yan, kau tidak boleh kompromi....! Aku bisa menduga keadaan yang sebenarnya, jangan percaya katakatanya." "Tu Toako, aku hanya mempercayai dirimu" Pada waktu Wie Kie-hong mengatakan kata kata ini, ekspresinya dipenuhi rasa lembut.
Wie Kie-hong adalah seorang laki-laki yang lembut.
Terhadap Leng Souw-hiang dan Tu Liong, yang dipikirnya hal yang baik.
Kalau dikatakan secara normal, karakternya tidak cocok untuk berlatih silat.
Seorang pendekar silat, kadang-kadang perlu kecepatan dalam membuat keputusan dan kepastian dalam melakukan tindakan.
"Kie-hong, kau pulanglah sekarang.
Kau harus menghormati keputusan yang sudah dibuat oleh majikanmu.
Seperti aku pun harus menghormati keputusan yang dibuat oleh Cu Taiya.
Untuk sementara waktu ini, kita berdua tidak saling bertemu pun tidak apa apa, kalau nanti ada berita bagus, aku pasti akan pergi memberitahumu...." "Tu toako, kalau begitu...
kalau begitu aku harus meminta maaf padamu" "Kie-hong, kalau aku membutuhkan bantu-anmu, aku pasti akan mencari dirimu, mungkin nanti kau harus keluar menolongku." "Kita lihat saja nanti" Wie Kie-hong sudah tidak berani melanjutkan kata-katanya lagi.
Kedua orang ini berpisah ditengah jalan.
Ketika Wie Kiehong membalikkan tubuh dan akan melangkah pergi, Tu Liong mengernyitkan keningnya dalam-dalam, jelas terlihat dia kesal sebab untuk sementara waktu ini dia kehilangan satu satunya orang yang dapat menolongnya.
Ini bukan suatu hal yang mudah dilewatkan begitu saja.
Akhirnya Tu Liong kembali memacu kudanya pergi, langkah kudanya sama gontai dengan pikirannya yang kacau, didalam kepalanya berseliweran banyak urusan yang tidak menentu.
Secara tidak terasa dia berjalan masuk kedalam sebuah gang yang sepi, sebenarnya tidak bisa dikatakan "secara tidak sadar", gang ini adalah gang yang harus dilalui kalau ingin kembali ke rumah kediaman Cu Taiya....
Tiba tiba saja ada orang yang menghadang jalannya.
Tu Liong sadar dari lamunannya.
Orang ini berpakaian sangat aneh.
Dia mengenakan pakaian serba hitam yang panjang menyelubungi tubuhnya, saat itu orang yang mengenakan pakaian hitam sangat jarang ditemui.
Kepalanya mengenakan sebuah topi kupluk, topi ini dikenakannya sangat rendah sehingga menutupi raut mukanya.
Tu Liong tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
Tu Liong langsung merasa ada sesuatu yang kurang beres.
"Saudara, aku ingin meminta suatu barang padamu" orang itu berkata dengan dingin.
"Oh...?" Tu Liong sama sekali tidak menyangka lawannya akan berlaku seperti itu.
dia tertegun beberapa saat: "Kau ingin minta barang apa?" "Bahu kananmu...." baru saja kata-katanya diucapkan setengah jalan, orang itu sudah meluncur ke arah Tu Liong bagaikan panah yang terlepas dari busurnya.
Biasanya orang yang mengenakan jubah panjang yang berat tidak akan bisa bergerak dengan mudah.
Namun ternyata orang ini sebaliknya, tidak hanya gerak-geriknya sangat cepat, kegesitannya sempat membuat Tu Liong merasa kaget.
Dia mengeluarkan pedang yang memiliki gigi bagaikan sebuah gergaji yang di ambil dari sarang yang digantung di punggungnya.
Sinar kilau pedang berkelebat ketika pedang itu menebas mengarah ke bahu kanan Tu Liong.
Tu Liong mahir bertarung jarak dekat dan ahli jurus bantingan, tentu saja dia mahir menggunakan tangan kosong untuk melawan seseorang yang membawa senjata, tapi menghadapi senjata yang aneh ini dia merasa sedikit raguragu.
Karena merasa ragu ragu, Tu Liong sudah kehilangan waktu yang berharga.
Pedang itu sekarang sudah sampai ke atas bahunya.
Gang itu sangat sempit, untuk menghindari serangan tidaklah mudah.
Apalagi Tu Liong masih duduk diatas seekor kuda.
Sekali salah bertindak, Tu Liong sudah berada dalam bahaya besar.
Untung kemahiran Tu Liong menghindari serangan tidak jelek.
Ditengah situasi berbahaya seperti itu, dia masih mampu menghindar serangan.
Sebelum bahunya putus ditebas pedang bergigi, dia meloncat mundur kebelakang dari pelana kuda.
Kuda putihnya merasa kaget.
Binatang itu meringkik keras mengangkat kedua kaki depannya.
Serta merta binatang itu lari menerjang menuju orang yang memegang pedang gigi gergaji.
Walaupun raut mukanya tidak terlihat, namun Tu Liong tahu orang yang memegang pedang gigi gergaji tidak merasa panik.
Dengan tetap tampak tenang, dia menendang tembok yang ada disebelah kirinya dan membuatnya menjadi injakan untuk meluncur ke atas.
Kuda berlari semakin dekat.
Ternyata orang yang memegang pedang gigi gergaji belum cukup loncatannya untuk menghindari terjangan kuda.
Sekali lagi dia menendangkan kaki kirinya ke tembok di sebelah kanannya.
Sekarang dia sudah berada cukup tinggi diatas kuda.
Kuda putih terus berlari dibawahnya, setelah mencapai titik loncat tertinggi, orang yang memegang pedang gigi gergaji mulai bersalto menuju Tu Liong.
Setelah dekat, dia segera mengayunkan lagi pedang bergigi gergaji ke arah Tu Liong.
Tebasan pedangnya tampak sangat kuat.
Jika Tu Liong tidak segera berkelit, kepalanya pasti sudah terbelah dua.
Dia segera memutar tubuhnya menyamping.
Nyaris pedang bergigi gergaji itu menyentuh hidungnya.
Sekarang Tu Liong berdiri merapat ke dinding, pedang gigi gergaji berada tidak jauh dari dadanya.
Orang yang memegang pedang gigi gergaji segera memutar pegangan pedang, sehingga gigi gergaji yang tajam mengarah pada Tu Liong.
Pedang itu kembali disabetkan ke arahnya.
Tu Liong langsung mengangkat kedua tangan dan melempar dirinya menjauh.
Pedang gigi gergaji hanya berhasil merobekbajunya.
Orang yang memegang pedang gigi gergaji tidak membuang waktu.
Dia kembali menusukkan pedang bergigi gergaji ke arah dada Tu Liong.
Serangan beruntun ini sangat cepat.
Tu Liong kaget.
Terpaksa dia menggunakan kedua telapak tangannya untuk menghentikan laju tusukan pedang.
Tu Liong terseret mundur beberapa langkah.
Orang yang memegang pedang gigi gergaji segera mendorong pedang gigi gergaji ke arah bawah.
Pedang itu terlepas dari jepitan telapak tangan Tu Liong.
Setelah terlepas, pedang itu segera ditarik lagi ke arah atas.
Secara reflek Tu Liong menarik ke dua tangannya.
Kalau gerakan Tu Liong tidak cukup cepat, dia pasti sudah kehilangan kedua pergelangan tangannya.
Tu Liong melangkah mundur.
Setelah beberapa saat, dia menyadari kalau bajunya sudah koyak koyak karena serangan pedang yang beruntun.
"Berhenti!" Tu Liong berteriak keras-keras.
Orang itu ternyata menuruti kata-katanya dan menghentikan serangan.
Dia bertanya dengan nada dingin: "Kau mau minta ampun?" "Aku hanya ingin bertanya namamu ! Aku ingin bertanya apa alasanmu menyerangku!" "Kau bertanya saja pada Thiat-yan ....
" Sebelum kata katanya selesai diucapkan olehnya.
Sekali lagi dia menyerang ke arah Tu Long.
Tu Liong menjadi emosi, segera dia mencabut pedang yang diikatkan di pinggangnya.
Orang yang memegang pedang gigi gergaji menyabetkan pedangnya memutar secara vertikal dari atas ke bawah.
Tu Liong juga menyabetkan pedangnya memutar secara vertikal dari bawah ke atas.