Akan tetapi, malang sekali, baru sebulan lebih tinggal di situ, Pek Yu Lian meninggal dunia karena penyakit. Kini hanya tinggal Pang Kim Lian seorang yang menjadi penghibur keluarga Thio. Pang Kim Lian berusia lima belas tahun, cantik dan manis sekali, sesuai dengan namanya, yaitu Kim Lian atau Teratai Emas! Si Teratai Emas ini adalah anak perempuan yang ke enam dari keluarga penjahit Pang yang miskin sekali. Pada jaman itu, pada umumnya orang menganggap anak-anak perempuan sebagai beban keluarga. Anak laki-laki selain dianggap sebagai penyambung nama keturunan atau marga, juga dianggap sebagai tenaga yang kelak dapat diharapkan untuk dapat menjamin orang tua di waktu usia lanjut, dan sebagai pembantu pekerjaan orang tua. Karena pendapat dan anggapan inilah, maka derajat kaum wanita amat rendahnya di jaman itu.
Orang-orang tua akan merasa lega dan bebas kalau anak perempuan mereka ada yang mengambilnya sebagai mantu. Bahkan mereka akan merasa gembira kalau ada orang mau mengambil anak perempuan mereka sebagai apa saja, asalkan keluar dari rumah dan dari tanggung jawab mereka. Tentu saja tidak demikian dengan puteri-puteri bangsawan atau hartawan. Akan tetapi, keadaan anak perempuan orang- orang yang miskin sungguh amat menyedihkan. Bukan dongeng belaka kalau banyak anak perempuan yang masih bayi dibunuh oleh orang tuanya karena mereka tidak merasa kuat untuk memelihara anak perempuan mereka itu, dan banyak pula yang memberikan anak perempuan mereka kepada siapa saja yang mau. Kalau anak perempuan itu sudah besar, maka banyak orang-orang tua miskin yang berusaha menjual anak perempuan mereka untuk dijadikan budak, selir atau bahkan menjadi pelacur.
Demikian pula dengan Si Teratai Emas. Ketika ayahnya meninggal dunia, Kim Lian ini baru berusia sembilan tahun. Sejak kecil sudah nampak bahwa Kim Lian cantik mungil den manis sekali, maka oleh ibunya ia lału dijual kepada keluarga Wang yang kaya raya dan masih. berdarah bangsawan.
Kim Lian diterima di rumah tangga keluarga itu, karena wajahnya yang manis iapun dididik membaca dan menulis, belajar bernyanyi dan meniup suling. Karena ia memang cerdik, maka Kim Lian tumbuh menjadi seorang remaja yang cantik manis, menarik, pandai bersolek, bahkan pandai pula menyulam. Pendeknya, ia merupakan seorang di antara dayang-dayang yang amat menarik dan dikasihi Wang-Loya (tuan besar Wang) yang sudah tua. Ketika Kakek Wang yang kaya raya ini meninggal dunia, Pang Kim Lian berusia lima belas tahun. Kim Lian pulang ke rumah ibunya, akan tetapi hamya sebentar saja ia tinggal di rumah ibunya yang melarat karena ibunya telah menjualnya lagi kepada keluarga Kakek Thio yang kebetulan mencari dua orang gadis muda untuk menjadi penghibur Kakek Thio yang kesepian.
Di rumah keluarga Thio ini, Kim Lian yang disuka dan dimanja memperoleh kesempatan untuk memperluas pengetahuannya dengan mempelajari banyak macam kesenian dan kerajinan tangan, dan iapun mulai pandai bermain Yang-kim, yaitu semacam siter. Di tempat itu, bagaikan setangkai bunga ia mulai mekar dan dalam usia delapan belas tahun jadilah ia seorang gadis yang, luar biasa cantiknya. Cantik, cerdik, dan memiliki daya tarik yang mempesonakan. Tidaklah terlalu mengherankan dan tidak dapat terlalu disalahkan kalau Kakek Thio selalu merasa gelisah dan dia selalu mengamati perkembangan yang terjadi pada diri Kim Lian dengan mata berminyak dan mulut berliur. Daya tarik seorang wanita akan selalu tetap mengusik birahi seorang pria,
Berapapun usia pria itu, dan agaknya berahi terhadap wanita inl hanya akan berakhir bersama masuknya badan ke liang kubur. Ada yang nampak alim dan tidak tertarik, akan tetapi hal itu hanyalah akibat dari penekanan belaka, namun hasrat itu sebenarnya tetap ada, merupakan api abadi yang bernyala di dalam batin. Hanya perasaan sungkan, malu dan takut akan akibatnya yang membuat seorang laki-laki tua memaksa diri untuk mengalihkan pandang mata dari tubuh seorang gadis muda dan menghibur diri untuk mengalihkan minat dan memadamkan atau setidaknya menutup api berahi yang selalu berkobar. Demikian pula dengan Kakek Thio. Semenjak Kim Lian berada di rumahnya, setiap saat dia selalu membayangkan kemontokan tubuh gadis itu, dan kalau berhadapan dia selalu memancarkan pandang mata penuh gairah.
Akan tetapi, dia harus selalu menekan gairahnya karena dia merasa takut kepada isterinya yang keras dan galak. Bagaikan seekor kucing melihat dendeng, dia menjilat bibir sendiri yang berliur, namun apa daya, dendeng itu berada di dalam almari kaca, mudah dipandang akan tetapi sukar didapatkan. Laki- laki tetap laki-laki, biar sudah tua, seperti juga kucing tetap kucing, biar sudah ompong. Hasrat yang besar dan gairah yang bernyala-nyala membuat orang menjadi banyak akal. Demikian pula Kakek Thio. Dia selalu mencari kesempatan, dan di depan isterinya dia berpura-pura alim. Hal Ini membuat isterinya lengah. Pada suatu hari, nyonya Thio pergi berkunjung kepada seorang tetangga. Almari kaca dibiarkan terbuka, dendeng itu dibiarkan tak terjaga, padahal kucing sudah selalu siap menubruk!
Kakek Thio tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Dipanggilnya Kim Lian dan ditariknya tangan gadis yang sedang mekar dan harum itu ke dalam kamarnya. Akhirnya, hal-hal yang selama ini hanya dibayangkannya sajapun terjadilah. Biarpun Kim Lian menghadapi peristiwa ini dengan hati tak senang dan batin meronta, namun apa daya gadis yang menjadi budak belian ini terhadap majikannya? la tidak berani melawan atau menolak, hanya dapat menangis lirih. Kesenengan hasil curian yang dinikmatinya dałam waktu hanya singkat saja itu harus dibayar mahal sekali oleh Kakek Thio. Karena membiarkan nafsu bertumpuk di dalam dirinya kemudian meledak tak terkendali, tubuhnya yang memang sudah loyo dan lemah itu tidak kuat menahan.
Segera dia jatuh sakit dan yang dideritanya bermacam-macam. Tulang punggungnya nyeri dan kaku, matanya berkunang-kunang, telinganya mengiang, kepalanya pening-pening dan mengguknya kumat, batuk-batuk tiada hentinya. Tentu saja melihat suaminya yang mendadak jatuh sakit, apalagi melihat sepasang mata Kim Lian masih merah bekas tangis, Nyonya Thio segera dapat menduga apa yang telah terjadi ketika ia meninggalkan rumah dalam waktu kurang dari satu jam itu. Nyonya yang galak ini mengamuk, Kim Lian dipanggil dan dimaki-maki, juga dipukuli dengan gagang sapu bulu ayam. Untuk meredakan keributan yang terjadi itu, terpaksa Kakek Thio yang menjadi susah sekali hatinya itu mengambil keputusan untuk mengawinkan Kim Lian dengan orang luar. Dia bersedia untuk membiayai pernikahan itu.
Maka dipilihlah Bu Toa, duda yang menyewa rumah hartawan itu, mengingat bahwa Bu Toa adalah seorang yang baik hati, sabar dan rajin, walaupun laki-laki yang sudah menduda itu berwajah buruk dan bertubuh kerdil. Tentu saja Bu Toa menerima dengan girang sekali dan mengucapkan syukur kepada Tuhan yang telah memberinya anugerah. Secara tiba-tiba dia memperoleh seorang isteri yang demikian cantiknya, baru berusia delapan belas tahun, dan pernikahan Itupun dibiayai oleh orang lain tanpa dia sendiri mengeluarkan satu sen pun. Hal ini dianggap sebagai rejeki nomplok dan sebagai anugerah Tuhan kepadanya. Sama sekali Bu Toa tidak menyadari bahwa yang nampaknya sebagai rejeki nomplok itu sesungguhnya merupakan suatu kutukan baginya, yang nampaknya lezat dan menggairahkan itu sebenarnya merupakan racun yang akan merusak hldupnya kelak.
Sejak pernikahan yang tidak seimbang ini, Bu Toa selalu menerima uluran tangan Kakek Thio, seringkali menerima bantuan uang kalau dia sedang kekurangan. Dia amat berterima kasih kepada hartawan tua itu, sama sekali tidak tahu betapa seringnya Kakek Thio memasuki kamarnya setelah dia pergi menjajakan kue dagangannya, dan betapa Kakek itu melakukan perjinaan sesuka hatinya dengan Kim Lian yang telah menjadl isterinya!. Akan tetapi, kalau dia mengetahui, apa yang dapat dilakukannya? Dia menerima Kim Lian dari tangan Kakek Thio, dan kehidupannya ditunjang oleh hartawan itu, Maka, ketika akhirnya dia tahu juga akan hubungan rahasia antara isterinya dan Kakek Thio, dia pura-pura tidak tahu saja.
Kesehatan Kakek Thio semakin memburuk setelah dia melanjutkan hubungannya dengan Kim Llan dan pada suatu hari, diapun jatuh sakit dan tak mampu bangun dari tempat tidurnya. Isterinya yang juga mendengar akan hubungan itu, menjadi marah dan mengusir Bu Toa dan isterinya. Terpaksa Bu Toa membawa isterinya dan puterinya, Bu Ying, mencari pondokan baru dan akhirnya mendapatkan juga sebuah rumah pondokan yang kecil di tepi jalan yang mempunyai loteng kecil pula, dan setelah pindah ke rumah itu, kembali Bu Toa setiap hari sibuk memikul dan menjajakan kue-kuenya berkeliling kota. Pang Kim Lian diam-diam membenci suaminya, dan sering kali timbul pertengkaran di antara mereka. Sering kali Kim Lian mengutuk Kakek Thio yang mengawinkan ia dengan Bu Toa.
“Terkutuk tua bangka Thio itu. Mengapa ia memilih manusia kerdil lemah ini, yang menelan semua penghinaan, yang menjadi mabuk hanya oleh secawan arak dan kesukaannya hanya tidur mendengkur! Aihh, dosa apakah yang telah dilakukan mahluk malang seperti aku ini sehingga aku harus menderita dalam pernikahan macam ini?” Setiap pagi, setelah suaminya pergi meninggalkan rumah sambil memikul dagangannya, Kim Lian sering nampak duduk di bełakang jendela loteng. Ia merasa gembira sekali melihat betapa semua laki-laki yang lewat di jalan raya di bawah jendelanya, selalu menengok dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kagum.
Segera Ia menjadi terkenal di kalangan kaum pria dan banyak pria yang menyayangkan bahwa seorang wanita muda yang demikian moleknya menjadi isteri seorang laki-laki yang tidak sempurna, bahkan tak pantas dinamakan laki-laki dengan tubuhnya yang kerdil dan wajahnya yang buruk itu. Karena Kim Lian melempar senyum dan kerling kepada para pemuda yang lewat di depan rumahnya, maka para muda itu, menjadi berani dan terang-terangan mereka mengeluarkan kata-kata merayu dan bahkan kurang ajar kalau mereka lewat di depan rumah itu. Hal ini akhirnya diketahui oleh Bu Toa dan laki-laki kerdil ini mengambil keputusan untuk pindah dari jaian itu. Kim Lian marah-marah mendengar akan keputusan yang diambil suaminya.
“Engkau sudah gila?” bentaknya. “Apakah engkau ingin membawaku pindah kerumah yang lebih kecil dan buruk lagi daripada ini, tinggal di kolong jembatan seperti gelandangan? Kalau memang ingin pindah, setidaknya engkau harus mencari rumah yang lebih baik dan jalan yang lebih besar daripada ini.”