“Bohong! Carilah lain orang kalau mau berbohong.”
“Aku tidak membohongimu, Toako. Nama orang gagah itu adalah Bu Siong, dan dia datang dari daerah Yang-Ku-Sian. Dia adalah adik dari seseorang yang tinggal di kota ini dan pernah bekerja di perkebunan tuan tanah yang kaya raya Cai di Hong-Hai-Kun. Setelah sembuh dari suatu penyakit, dia pergi mencari kakaknya itu dan dalam perjalanannya dia melewati Gunung King-Yan-San. Tiba-tiba dia bertemu dengan harimau buas itu. Dia diserang oleh binatang itu, akan tetapi dia menghajar harimau itu dengan kaki tangannya, menghujankan pukulan dan tendangan maut dan akhirnya harimau itupun menggeletak mampus di bawah kakinya. Dia mempergunakan pukulan dengan tangan miring seperti ini, dan menendang dari samping mematahkan tulang-tulang, rusuk harimau itu,”
Ying Po Kui menceritakan dengan menggerakkan kaki tangan, seolah-olah dia sendiri menyaksikan perkelahian itu, atau bahkan dia sendiri yang telah membunuh harimau itu.
“Dan dalam saat ini juga dia sedang menuju ke kota ini sambil membawa korbannya itu menuju ke gedung Kepala Daerah.” Ying melanjutkan ceritanya, seperti kebiasaan yang terdapat pada orang yang membawa berita penting, nampak bangga dengan beritanya itu.
“Aih, kalau begitu kita harus menontonnya!” Shi Men tertarik dan diapun cepat mengajak Ying Po Kui keluar dari situ, menuju ke pintu gerbang timur dari mana pendekar Bu Siong itu akan masuk kota. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Cia Si Ta.
“Ha, aku berani bertaruh bahwa kalian tentu akan nonton harimau itu.”
“Benar, mari nonton bersama kami.” Mereka bertiga bergegas menuju ke jalan raya dan mencari tempat yang bagus, yaitu dari loteng sebuah kedai arak di jalan raya itu dari mana mereka dapat melihat ke arah jalan raya dengan jelas. Mereka tidak menunggu terlalu lama. Segera terdengar suara tambur dan cang dipukul gencar mengiringi sekelompok orang yang berpawai memasuki pintu gerbang timur, ditonton oleh banyak orang yang memenuhi kedua tepi jalan raya. Dua barisan pemburu dengan tombak-tombak beronce merah berjalan di tepi jalan kanan-kiri, mengawal empat orang yang memikul bangkai seekor harimau yang besar sekali. Di belakang empat orang pemikul bangkai harimau ini nampak orang yang ditunggu-tunggu, di samping harimau itu sendiri, yaitu pendekar perkasa Bu Siong yang telah membunuh harimau buas itu hanya dengan tangan kosong.!
Seorang laki-laki muda yang gagah perkasa! Tubuhnya tinggi besar, satu kepala lebih tinggi dari ukuran orang biasa. Wajahnya berbentuk lebar dengan dagu yang, kokoh kuat, sepasang matanya tajam sekali dan terang seperti bintang, tangan kanannya memegang gagang sebatang pedang yang tergantung di pinggangnya. Pedang itu tidak pernah dipergunakan ketika dia melawan harimau sehingga harimau itu tewas tanpa rusak kulitnya, hanya memar-memar kepalanya dan patah-patah tulang iganya. Kepalanya tertutup kain kepala yang dihias dua buah bunga perak. Pakaiannya, pakaian pemburu atau pendekar yang serba ringkas berlepotan darah dan mantelnya dari kain merah dan dengan gagahnya pendekar ini menunggang seekor kuda putih yang tinggi dan yang berjalan perlahan di belakang bangkai harimau yang digotong empat orang itu.
“Wah, betapa gagah dan kuatnya dia!” Shi Men berbisik kepada teman-temannya. memandang dengan penuh kekaguman. Juga teman-temannya memandang dengan kagum sekali.
“Jadi inilah pendekar Bu Siong dari Yang-Ku-Sian itu!”
Pawai itu memasuki pelataran gedung Kepala Daerah dan Bu Siong turun dari atas pelana kudanya, lalu dengan langkah lebar dia menghampiri Kepala Daerah bersama para pejabat daerah yang telah siap menanti di ruangan depan. Ketika Bu Siong memberi hormat di depan Kepala daerah, pembesar ini memandang kagum. Harimau yang demikian besar dan buas hanya dibunuh dengan tangan kosong, betapa hebatnya tenaga pendekar ini pikirnya. Dia lalu menyambut dengan gembira, mempersilakan Bu Siong duduk menghadapi meja dan pembesar itu mengajaknya makan bersama-sama para pembesar lain, bahkan memberi selamat dan penghormatan dengan tiga cawan arak, kemudian menyuruh keluarkan lima puluh tail perak yang sudah dijanjikannya itu untuk diberikan kepada Bu Siong. Bu Siong menjura dengan hormat lalu berkata sopan,
“Sesungguhnya keberhasilan saya membunuh perusak keamanan rakyat dan pembunuh ini bukan hanya karena kepandaian saya yang tidak seberapa, melainkan berkat kebesaran paduka dan juga karena keberuntungan sedang menyertai saya. Saya tidak berhak menerima hadiah itu, dan karena hati saya merasa amat berduka melihat betapa binatang buas itu membuat banyak pemburu menerima hukuman berat, maka saya mohon kepada paduka, bolehkah kiranya hadiah ini saya bagi-bagikan kepada para pemburu sehingga kebesaran paduka akan menjadi tambah bersinar.” Kepada Daerah itu mengangguk setuju.
“Silakan kalau itu yang kau kehendaki, Bu-Taihiap.” Bu Siong segera membagi-bagi perak itu di antara para pemburu yang tadi ikut mengawalnya dan tentu saja para pemburu itu merasa gembira bukan main. Kepala Daerah sendiri kagum akan kegagahan Bu Siong, maka dia ingin menarik tenaga yang amat penting ini agar dapat dimanfaatkan untuk daerahnya.
“Bu-Taihiap, kami ingin sekali menawarkan kedudukan kepadamu dan mengangkatmu menjadi Kapten pasukan keamanan daerah ini. Tugas utamamu adalah memimpin pasukan membasmi para perampok di sepanjang Sungai Cin. Kami harap saja engkau tidak akan menolaknya, sesuai dengan watakmu yang gagah perkasa untuk melepaskan kesengsaraan rakyat dari penindasan dan ancaman.” Bu Siong menghaturkan terima kasihnya sambil berlutut di depan pembesar itu.
“Saya berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk mentaati perintah paduka.” Tentu saja pembesar itu merasa girang sekali dan saat itu juga Bu Siong, diangkat menjadi kepala penjagaan keamanan dan diperkenalkan dengan semua pejabat daerah yang hadir di situ dan Bu Siong menerima ucapan selamat dari mereka. Setelah pesta berakhir, Bu Siong pamit kepada kepala daerah untuk lebih dahulu mencari kakaknya. Kakak kandung yang dicari-cari oleh Bu Siong itu bernama Bu Toa. Orang tidak akan percaya kalau melihat kedua orang kakak beradik ini, bahwa mereka adalah saudara sekandung.
Kalau Bu Siong merupakan laki-laki yang tampan gagah, bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, sebaliknya Bu Toa bertubuh kecil, wajahnya juga buruk dan nampaknya seperti seorang laki-laki tolol. Berbeda dengan Bu Siong yang bertubuh kuat, Bu Toa ini bertubuh lemah dan berpenyakitan. Karena tubuhnya yang kuat, semenjak muda sekali Bu Siong meninggalkan kampung halaman untuk mencari pekerjaan. Semenjak muda sekali dia memang suka berlatih silat sehingga mudah baginya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai petugas keamanan di kota-kota. Sebaliknya Bu Toa hidup sebagai petani dan menikah dengan seorang perempuan dusun. Ketika anak perempuannya yang diberi nama Ying masih kecil, isteri Bu Toa meninggal dunia, membuat dia menjadi seorang duda bersama anak perempuannya, hidup menyendiri.
Pada suatu waktu, musim kering yang panjang membuat kehidupan di dusun itu tak dapat dipertahankan lagi. Bu Toa membawa anak perempuannya untuk pergi mengungsi dan akhirnya dia tinggal di kota Ceng-Ho-Sian. Di kota ini dia berjualan kue dengan memikul dagangannya itu putar-putar kota. Karena ini dia dikenal banyak orang dan seluruh kota menyebutnya dengan nama poyokan Si Cebol dan suaranya yang tinggi melengking kalau menawarkan kuenya sering kali menjadi bahan olok-olok anak-anak kecil. Di kota Ceng-Ho-Sian ini, ketika pertama kali tiba, Bu Toa mendapatkan sebuah kamar pondokan di rumah-rumah kecil milik hartawan Thio. Karena Bu Toa pandai menyesuaikan diri, ringan tangan dan kaki untuk membantu tuan rumah, maka hartawan Thio suka dan merasa kasihan kepadanya, bahkan membebaskannya dari uang sewa, akan tetapi sebagai gantinya Bu Toa berkewajiban merawat rumah- rumah milik hartawan itu. Hartawan Thio atau Thio-Wangwe amat kaya raya, akan tetapi dia tidak mempunyai seorangpun anak. Apalagi isterinya amat galak, tidak pernah memperkenankan dia mempunyai selir, Hal ini membuat Thio-Wangwe merasa kesepian dan sering kali dia mengeluh di depan isterinya.
“Apa artinya memiliki harta kekayaan yang melimpah seperti aku ini? Hidupku kosong dan sunyi, tidak ada kesegaran, tidak ada kegembiraan.”
“Baiklah, baiklah, aku akan menyuruh perantara mencarikan dua orang budak yang muda dan cantik dan mereka boleh melayanimu dan menghiburmu dengan tarian dan nyanyian mereka dari pagi sampai malam, sampai engkau bosan!” Tentu saja si tua Thio menjadi girang sekali dan menerima usul ini. Beberapa hari kemudian, nyonya Thio telah membeli dua orang budak yang muda dan manis-manis. Nama mereka adalah Pek Yu Lian dan Pang Kim Lian. Dan begitu kedua orang gadis ini berada di dalam rumah keluarga Thio, rumah itu bagaikan mendapatkan sinar baru dan keadaan di situ menjadi segar dan gembira. Sering kali terdengar suara seruling dan nyanyian mereka menghibur Thio-Wangwe dan isterinya.